Kopinya hitam pekat
Asap panasnya masih menyebul di udara, bertabrakan dengan
kabut yang semakit merapat
Tidak lain tidak bukan. Dia lelaki hitam yang kulihat tadi
siang
Pagi kopi, siang kopi
Mungkin dia telah terjebak dalam irama kopi
Hingga menikmati fajar di balik mahameru dengan secangkir
kopi
Matanya bergerak cepat menuntaskan kalimat dalam
cetakan-cetakan kertas
Seakan menyelidik apa yang terjadi hari ini, di tanah tua
yang kering kerontang
Tembakau tetap bersemayam dalam mulutnya dan secangkir kopi
diam manis di depannya
Potret seorang lelaki tua di warung kopi tadi siang
Nadanya lantang, mengeluarkan ide-ide tentang pergerakan
Sesekali mengumpat pemerintah
Di mana letak keadilan?
Tapi tetap dia tak pernah lepas, dari rayuan manis kopi yang
dia teguk sekali dua suap
Hingga lupa rasa pahit kehidupan
Seragamnya berwibawa dengan bintang-bintang menempel gagah
dipundaknya
Tapi dia juga tak pernah lupa, meneguk kopi di kala fajar
tiba
Matanya berhias kacamata tua, jalan sudah tak lagi muda
Rambutnya mulai pudar, putih datang hilang tenggelam
Tapi dia juga tak pernah lupa, secangkir kopi pahit dalam
ruang nostalgia
(Catatan Malang, 2014, saya lupa menulis puisi ini, kapan dan dimana)
No comments:
Post a Comment