Sunday, November 10, 2013

Gelap Dan Terang


Detik lalu kembali ke sedia kala, ketika sebuah emoticon senyum yang menurut terang bukan merupakan senyum. Lalu terdiam dalam nada yang belum mampu keluar dari rongga mulut. Belum, hingga semuanya nanti memuncar dalam satu rasa. Entah amarah atau tangisan yang muncul.

Dua mata itu beradu dalam sedetik, lalu mereka kembali melihat ke secangkir kopi yang menunggu manis dengan aroma khasnya. Masih hening, memulai topik ringan agar suasana pecah. Tapi itu hanya kamuflase belaka. Sekat semakin jauh, karena bayangannya yang ingin menjauh. Gelap mengatakan kalau dia akan pergi, tapi terang tetap berusaha menyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan pergi.

Tapi semua tersandar ketika emoticon senyum terbaca tidak ikhlas dari bibir simpulnya. Lalu terang mencoba menerka waktu yang akan tiba. Sebuah lagu lama mengalun pelan, liriknya berbicara. Cinta tersurat kadang lebih menyakitkan daripada cinta tersirat. Terkadang yang tersirat jauh lebih manis dari yang tersurat. Tersurat dalam sebenarnya rasa itu cuma khayalan belaka bahkan seharusnya dia tidak ada. Tapi karna suatu alasan yang tidak pernah terang tahu, gelap itu memuncarkkan rasanya yang tersurat. Lalu semua jatuh dalam gelap dan gelap lagi. Pernah tertawa tapi semua hanya sesaat belaka. Monochrome. Hanya hitam dan putih. Lalu semua sirna karena gelap sebenarnya tak pernah mencintai terang.

Waktu tak dapat dapat kembali. Menghentikan waktu dan menghapus jejak. Hanya Tuhan yang bisa tapi terang bukan tuhan. Lagi-lagi karena sebuah senyum simpul itu, dia tersadar . Terang masih bodoh. Masih jauh lebih bodoh dari gelap.

Hingga malam itu, kopi itu tak lagi sama rasanya dengan hari kemarin.

(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 10 November 2013)