Aku terbangun tepat pukul dua pagi, buyar sudah semua mimpiku. Remuk sudah keping-keping yang telah ku rangkai sedemikian rupa. Secantik yang aku bayangan. Tapi tepat pukul dua pagi semua remuk. Terbawa angin malam nan syahdu. Menghempaskan tubuh ke kasur kecil, menerawang langit-langit kamar. Jarum jam tepat menunjuk ke angka dua. Layar monitor masih menyala terang. Secangkir kopi masih tersisa di atas meja. Aku bangun, menatap layar monitor. Mengamati aktivitas di media sosial. Menggetik sebuah nama lalu membaca halaman profilnya. Menggelikan, memalukan. Aku menguntitnya diam-diam dari sebuah akun media sosial. Seperti jarak yang sangat jauh membatasi kita. Seperti kita di belahan bumi yang berbeda. Seperti kita tak bertemu sekian lama. Tapi benar kita tak pernah bertemu sekian lama sejak hari itu. Aku lupa tepatnya kapan, kita berpisah dalam senyum simpul yang mengembang. Lalu kau pergi dalam jalan yang telah kau buat, begitu juga ceritamu. Dimana tak ada aku sebagai pemeran utama. Begitu juga dengan ku yang masih kekeh menulis dirimu dalam ceritaku. Padahal tak ada cerita manis antara kita. Tapi aku mengkunci rapat ceritaku dengan namamu dan ketika pukul dua pagi ini, aku terbangun mengingatnya kembali. Tujuh jam sebelum aku membedah ceritaku di depan khalayak umum. Haruskah aku tersenyum simpul seperti saat itu ? Akankah kau mencariku setelah kau membaca tiap lembar ceritaku. Aku tetap di sudut café itu, tak kurang tak lebih masih dengan kebisuanku.
-Seharusnya penggalan paragraf ini aku tulis lima tahun
lagi. Tapi tanganku meminta untuk menulisnya. Dari kisah di ujung timur.