Sumber Foto : Tribunnews
"Isu tentang diskriminasi penyandang disabilitas, bulan maret lalu. Cukup membuat saya ingin sedikit menulis opini tentang hal tersebut. Walaupun bukan ahli dalam menulis opini, dengan tulisan ini saya mencoba untuk belajar".
Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan, bunyi pasal 31 yang tertuang dalam Undang-undang Dasar
1945. Tetapi kalimat tersebut sangat memilukan ketika saya membaca artikel di harian
Kompas (11/3/2014) yang berjudul Syarat Masuk PTN Dinilai Diskriminatif. Di tengah
hak-hak pendidikan bagi setiap warga negara diperjuangkan, ada luka untuk kaum
disabilitas. Dikutip dari Kompas, Bambang Hermanto, sekretaris panitia
pelaksana Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dalam
penjelasan tertulisnya menyatakan, penetapan persyaratan bagi calon mahasiswa yang mendaftar program studi
tertentu merupakan kebijakan setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Penetapan
syarat yang dinilai diskriminatif itu sebenarnya bertujuan menjamin
keberhasilan murid dalam menempuh pendidikan di program studi yang dipilih. Berbagai
pertanyaan terlontar, apakah kebijakan setiap PTN akan menguntungkan disabilitas?
Bagaimana hak-hak disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang sama? Akankah hak
disabilitas terganjal dengan kebijakan PTN? Sebelum pemerintah mengatakan bahwa
penetapan persyaratan merupakan kebijakan PTN,
seharusnya dibuat aturan yang jelas untuk memperjelas berapa persen peluang
disabilitas yang hendak melanjutkan kuliah di PTN. Agar UU No. 19 Tahun 2011 tentang
pengesahan Convention On The Rights Of
Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) tidak hanya isapan jempol belaka.
Sedikit
tergelitik juga dengan headline surat
kabar yang menuliskan bahwa perguruan tinggi negeri dan swasta tidak siap
memberikan fasilitas layanan khusus bagi mahasiswa penyandang disabilitas.
Bukan hanya fisik bangunan, melainkan juga ketersediaan dosen yang memiliki
keterampilan mengajar penyandang disabilitas sesuai jenis disabilitas. Hal
tersebut menyinggung tentang di mana anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari APBN dan APBD yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. Lalu, muncul pertanyaan berapa persen anggaran yang digunakan
untuk memfasilitasi disabilitas hingga menyebabkan PTN tidak siap memberikan
layanan khusus bagi disabilitas baik fasilitas maupun tenaga pengajar? Juga
sejauh mana pemerintah memberdayakan tenaga pengajar disabilitas? Hal ini cukup
menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Mengingat Indonesia baru
saja meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui
UU Nomor 11 tahun 2011 (Kompas, 11/3/2014). Ratifikasi ini merupakan janji
negara tidak akan memperlakukan penyandang disabilitas sebagai manusia tidak
setara dengan manusia pada umumnya. Di konvensi itu juga negara mengakui hak
penyandang disabilitas atas pendidikan.
Dengan
munculnya persyaratan, tidak tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara,
tidak tunadaksa, dan tidak buta warna keseluruhan ataupun sebagaian mendapat
reaksi keras. Sebanyak 35 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa
Masyarakat Difabel (Kompas, 12/3/2014), mengajukan somasi kepada Mendikbud,
Mohammad Nuh. Mereka menuntut Mendikbud segera menghapus persyaratan SNMPTN 2014
yang mendiskriminasikan kaum difabel. Reaksi senada pun ditulis oleh Dimas Prasetyo
Muharam (Kartunet.com, 9/3/2014) menolak diskriminasi persyaratan pada
penyandang disabilitas. Dalam opininya, Dimas mengatakan tersebut sangat lah aneh jika melihat banyak
PTN yang memiliki lulusan penyandang disabilitas, seperti Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Juga PTN
yang mempunyai jurusan pendidikan luar biasa yang seyogyanya lebih paham
mengenai potensi dan kemampuan penyandang disabilitas. Tetapi di aturan resmi,
SNMPTN membatasi penyandang disabilitas tertentu. Seperti pada jurusan bahasa
di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ada persyaratan mahasiswa tidak boleh
tunarungu, tunawicara, dan tunanetra. Hal ini tentu saja membuat pertanyaan
besar, jika PTN tersebut mampu untuk mengelola penyandang disabilitas kenapa
harus ada persyaratan tersebut? Wamendikbud Bidang Pendidikan, Musliar Kasim
(Kompas, 15/3/2013) menanggapi tentang diskriminasi persyaratan bagi penyandang
disabilitas mengatakan bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap
penyandang disabilitas. Persyaratan calon mahasiswa penyandang disabilitas,
hanya untuk program studi tertentu seperti kimia, tidak boleh buta warna.
Tetapi, untuk yang lain harus terbuka.
Disabilitas bukanlah sebuah objek yang
harus diperdebatkan tetapi bagaimana mengelola dan memaksimalkan kemampuan yang
dimiliki penyandang disabilitas. Bukan lagi saatnya memperdebatkan persyaratan
untuk disabilitas tetapi memikirkan bagaimana cara pemerintah agar mampu
memelihara penyandang disabilitas mulai dari fasilitas, pengajar, dan teknis di
perkuliahan. Teringat kembali tentang makna sebuah pasal yang mengatakan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah penyandang
disabilitas merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Tidak ada alasan untuk
diskriminatif disabilitas dalam bentuk apapun.