Thursday, April 3, 2014

Luka Untuk Disabilitas

Sumber Foto : Tribunnews

"Isu tentang diskriminasi penyandang disabilitas, bulan maret lalu. Cukup membuat saya ingin sedikit menulis opini tentang hal tersebut. Walaupun bukan ahli dalam menulis opini, dengan tulisan ini saya mencoba untuk belajar".

Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, bunyi pasal 31 yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945. Tetapi kalimat tersebut sangat memilukan ketika saya membaca artikel di harian Kompas (11/3/2014) yang berjudul Syarat Masuk PTN Dinilai Diskriminatif. Di tengah hak-hak pendidikan bagi setiap warga negara diperjuangkan, ada luka untuk kaum disabilitas. Dikutip dari Kompas, Bambang Hermanto, sekretaris panitia pelaksana Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dalam penjelasan tertulisnya menyatakan, penetapan persyaratan bagi  calon mahasiswa yang mendaftar program studi tertentu merupakan kebijakan setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Penetapan syarat yang dinilai diskriminatif itu sebenarnya bertujuan menjamin keberhasilan murid dalam menempuh pendidikan di program studi yang dipilih. Berbagai pertanyaan terlontar, apakah kebijakan setiap PTN akan menguntungkan disabilitas? Bagaimana hak-hak disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang sama? Akankah hak disabilitas terganjal dengan kebijakan PTN? Sebelum pemerintah mengatakan bahwa penetapan persyaratan merupakan kebijakan PTN,  seharusnya dibuat aturan yang jelas untuk memperjelas berapa persen peluang disabilitas yang hendak melanjutkan kuliah di PTN. Agar UU No. 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) tidak hanya isapan jempol belaka.

Sedikit tergelitik juga dengan headline surat kabar yang menuliskan bahwa perguruan tinggi negeri dan swasta tidak siap memberikan fasilitas layanan khusus bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Bukan hanya fisik bangunan, melainkan juga ketersediaan dosen yang memiliki keterampilan mengajar penyandang disabilitas sesuai jenis disabilitas. Hal tersebut menyinggung tentang di mana anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Lalu, muncul pertanyaan berapa persen anggaran yang digunakan untuk memfasilitasi disabilitas hingga menyebabkan PTN tidak siap memberikan layanan khusus bagi disabilitas baik fasilitas maupun tenaga pengajar? Juga sejauh mana pemerintah memberdayakan tenaga pengajar disabilitas? Hal ini cukup menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Mengingat Indonesia baru saja meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities melalui UU Nomor 11 tahun 2011 (Kompas, 11/3/2014). Ratifikasi ini merupakan janji negara tidak akan memperlakukan penyandang disabilitas sebagai manusia tidak setara dengan manusia pada umumnya. Di konvensi itu juga negara mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan.

Dengan munculnya persyaratan, tidak tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara, tidak tunadaksa, dan tidak buta warna keseluruhan ataupun sebagaian mendapat reaksi keras. Sebanyak 35 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Masyarakat Difabel (Kompas, 12/3/2014), mengajukan somasi kepada Mendikbud, Mohammad Nuh. Mereka menuntut Mendikbud segera menghapus persyaratan SNMPTN 2014 yang mendiskriminasikan kaum difabel. Reaksi senada pun ditulis oleh Dimas Prasetyo Muharam (Kartunet.com, 9/3/2014) menolak diskriminasi persyaratan pada penyandang disabilitas. Dalam opininya, Dimas mengatakan  tersebut sangat lah aneh jika melihat banyak PTN yang memiliki lulusan penyandang disabilitas, seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Juga  PTN yang mempunyai jurusan pendidikan luar biasa yang seyogyanya lebih paham mengenai potensi dan kemampuan penyandang disabilitas. Tetapi di aturan resmi, SNMPTN membatasi penyandang disabilitas tertentu. Seperti pada jurusan bahasa di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), ada persyaratan mahasiswa tidak boleh tunarungu, tunawicara, dan tunanetra. Hal ini tentu saja membuat pertanyaan besar, jika PTN tersebut mampu untuk mengelola penyandang disabilitas kenapa harus ada persyaratan tersebut? Wamendikbud Bidang Pendidikan, Musliar Kasim (Kompas, 15/3/2013) menanggapi tentang diskriminasi persyaratan bagi penyandang disabilitas mengatakan bahwa tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Persyaratan calon mahasiswa penyandang disabilitas, hanya untuk program studi tertentu seperti kimia, tidak boleh buta warna. Tetapi, untuk yang lain harus terbuka.

Disabilitas bukanlah sebuah objek yang harus diperdebatkan tetapi bagaimana mengelola dan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki penyandang disabilitas. Bukan lagi saatnya memperdebatkan persyaratan untuk disabilitas tetapi memikirkan bagaimana cara pemerintah agar mampu memelihara penyandang disabilitas mulai dari fasilitas, pengajar, dan teknis di perkuliahan. Teringat kembali tentang makna sebuah pasal yang mengatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah penyandang disabilitas merupakan bagian dari bangsa Indonesia? Tidak ada alasan untuk diskriminatif disabilitas dalam bentuk apapun.