Bangun, Sebab pagi terlalu berharga. Tuk kita
lewati. Dengan tertidur, lirik Banda Neira mengalun pelan di telinganya.
Layaknya manusia normal ketika dia bangun, ketika dia
memandang dunia kala fajar mulai bersinar terang. Membuka laptop dan melihat
media sosial. Lalu Ranum, tersenyum ketus. Biasa, pagi itu dia melihat media
sosial, ingin tertawa tapi lebih baik sedih. Lucu, seperti drama yang hendak
ingin dimainkan. Ranum ingin mengeluarkan kata-kata nanar sedih nan menyayat
hati. Tapi, semua terdiam dan tak ingin keluar. Hingga hanya keluar senyuman
munafik dari bibirnya. Pagi itu belum ada secangkir kopi hangat yang
menemaninya. Tapi matanya sudah terlalu hangat untuk menatap dan membaca media
sosial. Temperatur cuaca tertulis tiga belas derajat celcius tapi panas menghinggapi
tubuh Ranum.
Mengscroll media sosial hingga habis sudah apa
yang membuatnya penasaran, ingin rasanya menertawakan dirinya sendiri. Karena
dia tak ingin menbuat dirinya terlihat menyedihkan. Tamparan dari sebuah media
sosial terkadang lebih menyakitkan, dunia maya oh dunia maya.
"Haruskah aku buat
secangkir kopi hangat? Jika tubuhku
sudah panas?" Ucap Ranum tanpa suara.
Teringat tentang tulisannya semalam, belum genap dua belas jam dia usai menulis. Tapi, tulisan itu seakan sampah. Sampah yang tak layak dibaca dan begitu memalukan untuk dibedah. Pendengar, ini tentang pendengar kawan. Sepertinya tak akan lagi ada pendengar. Tak akan ada lagi, semua telah usai dengan sebuah pesan dari pagi.
Mentari masih terus menyala terang, tapi tidak untuk mata Ranum. Hujan, menetes dari kedua kelopak matanya. Kelabu membayang, menggenang, dan membasahi pagi itu. Haruskah pergi ke antah berantah? Dan tak terlihat lagi. Haruskan dia menghilang dibalik pesan pagi yang indah. Indah, karena dua insan Tuhan sedang dimabuk asmara. Sungguh dia manusia egois jika membenci dua makhluk Tuhan yang sedang terpanah asmara, menuai kata-kata cinta diantara mereka.
"Tuhan tidak menyukai makhluk egois" ucap Ranum Lirih
Lalu aku harus bagaimana? Aku membuat sebuah pesan yang harus ku jawab sebelum matahari bersinar tegak. Maukah kau membantu ku menjawab? Aku bertanya untuk aku berdiri. Aku bertanya untuk sebuah senyum yang harus mengembang di bibirku.
Kalimat ini ditutup oleh sebuah alunan yang berjudul Rindu dari Banda Neira.
(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 27 Desember 2013)