Friday, December 27, 2013

Sebuah Pesan Dari Pagi

Bangun, Sebab pagi terlalu berharga. Tuk kita lewati. Dengan tertidur, lirik Banda Neira mengalun pelan di telinganya.

Layaknya manusia normal ketika dia bangun, ketika dia memandang dunia kala fajar mulai bersinar terang. Membuka laptop dan melihat media sosial. Lalu Ranum, tersenyum ketus. Biasa, pagi itu dia melihat media sosial, ingin tertawa tapi lebih baik sedih. Lucu, seperti drama yang hendak ingin dimainkan. Ranum ingin mengeluarkan kata-kata nanar sedih nan menyayat hati. Tapi, semua terdiam dan tak ingin keluar. Hingga hanya keluar senyuman munafik dari bibirnya. Pagi itu belum ada secangkir kopi hangat yang menemaninya. Tapi matanya sudah terlalu hangat untuk menatap dan membaca media sosial. Temperatur cuaca tertulis tiga belas derajat celcius tapi panas menghinggapi tubuh Ranum.

Mengscroll media sosial hingga habis sudah apa yang membuatnya penasaran, ingin rasanya menertawakan dirinya sendiri. Karena dia tak ingin menbuat dirinya terlihat menyedihkan. Tamparan dari sebuah media sosial terkadang lebih menyakitkan, dunia maya oh dunia maya. 

"Haruskah aku buat secangkir kopi hangat? Jika  tubuhku sudah panas?" Ucap Ranum tanpa suara. 

Teringat tentang tulisannya semalam, belum genap dua belas jam dia usai menulis. Tapi, tulisan itu seakan sampah. Sampah yang tak layak dibaca dan begitu memalukan untuk dibedah. Pendengar, ini tentang pendengar kawan. Sepertinya tak akan lagi ada pendengar. Tak akan ada lagi, semua telah usai dengan sebuah pesan dari pagi.

Mentari masih terus menyala terang, tapi tidak untuk mata Ranum. Hujan, menetes dari kedua kelopak matanya. Kelabu membayang, menggenang, dan membasahi pagi itu. Haruskah pergi  ke antah berantah? Dan tak terlihat lagi. Haruskan dia menghilang dibalik pesan pagi yang indah. Indah, karena dua insan Tuhan sedang dimabuk asmara. Sungguh dia manusia egois jika membenci dua makhluk Tuhan yang sedang terpanah asmara, menuai kata-kata cinta diantara mereka. 

"Tuhan tidak menyukai makhluk egois" ucap Ranum Lirih

Lalu aku harus bagaimana? Aku membuat sebuah pesan yang harus ku jawab sebelum matahari bersinar tegak. Maukah kau membantu ku menjawab? Aku bertanya untuk aku berdiri. Aku bertanya untuk sebuah senyum yang harus mengembang di bibirku.

Kalimat ini ditutup oleh sebuah alunan yang berjudul Rindu dari Banda Neira.

(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 27 Desember 2013)

Pendengar Dan Seorang Yang Didengar

Menulis lagi, pukul  23 : 35. Irama musik  yang baru kukenal mengalun sejak satu jam lalu. Hoodie membalut lekat tubuhku yang mulai terserang dinginnya malam. Duduk mematung menatap layar bisu, hanya mendengar irama. Mendengar? Aku teringat tentang malam itu. Dimana aku menjadi pendengar yang baik tanpa tahu entah maksud apa yang dia bicarakan. Dan aku tetap di posisi menjadi pendengar yang baik. Aku mendengar, mendengar, dan mendengar lagi. Aku dengar, aku berharap aku beranjak dari posisi sebagai pendengar. Tapi tidak, dia hanya butuh pendengar. Tidak lebih. Lalu ketika tak ada yang dia bicarakan dia tak butuh pendengar. Pergi merayap sepi. Aku menertawai diriku sendiri sebagai pendengar. Rasanya ingin aku berkata, aku bukan pendengar cerita-ceritamu dimana tak ada aku dalam tiap kalimat yang terlontar.

Tapi malam ini bukan tentang itu, tentang seorang yang ku kagumi ketika aku membaca tulisannya. Ketika aku mendengarnya berbicara lantang. Kagum atas ciptaan Tuhan, manusia. Tak lebih tak kurang aku mengaguminya. Aku suka ketika aku bengong menerkap-nerka setiap maksud ucapannya. Aku suka ketika dia memandang ku aneh, ketika tingkah ku bodoh. Aku suka ketika dia mengeluarkan kata-kata mujarabnya. Lantang! Aku belajar menjadi seseorang yang akan dilihatnya suatu hari nanti. Melihatku mengeluarkan mantra dan kata-kata dari jemariku yang mengalun pelan tapi pasti. Demi nadiku, aku pasti bisa.

Tentang kamu yang bicara segalanya dan aku menjadi pendengar. Ketahuilah, aku bukan sepasang telinga. Aku bergerak dan bernafas layaknya dirimu. Aku bukan perempuan itu, bukan. Sepatu ku masih teguh ku pakai hingga detik ini, masih melekat di jemariku. Melupakan sebuah kritik tajam yang tertancap, sebuah kalimat “Suka pake sepatu?” dengan nadamu yang aneh. Dengan pertanyaan “Kenapa suka make jaket gede banget sih?” dengan nadamu yang miris. Terhenyak, engkau siapa? Masih ku ingat jelas kata-kata itu. Mungkin takkan pernah aku lupakan. Seharga itukah pecitraan diriku, sepasang sepatu dan jaket kedodoran. Itu kita baru kenal.  Aku suka sesorang beropini, tapi tidak untuk orang baru di hidupku.

Ada kala aku jatuh dalam sebuah kata kritikan, seperti “Ini tulisan berita apa novel?”. Saat itu aku benar-benar jatuh, ku akui kata-kata itu mampu membuatku terombang-ambing dalam hitungan minggu. Mencari cela dimana harus aku benarkan. Aku menjadi phobia dengan berita, tak ku sentuh berita itu. Aku tak menulis hanya mewawancarai saja. Tapi itu tidak lagi, kritik itu adalah pil manis untuk ku dikemudian hari bukan sekarang. Aku bangkit ketika ada kata yang terlontar untukku, “kamu bisa nulis!”. Aku memikirkan kalimat itu hingga fajar tiba, lalu kuambil lagi dayung dan akan ku kayuh perahuku hingga batas terakhir.

Pendengar? Romannya aku sudah bukan pendengarnya lagi. Karena dia perlahan memudar menyapu jejaknya. Seperti tak pernah ada sesuatu antara kita. Aku tak mengerti lagi. Hingga aku menulis ini di kalimat terakhir, tentang pendengar aku belum mengerti. Aku perangkai kata tapi aku miskin mengerti makhluk Tuhan satu itu, adam.

(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 27 Desember 2013)