Tuesday, December 31, 2013

Semanis Aroma Kopi Kemarin



Semanis aroma kopi kemarin

Malang selalu punya tempat untuk bercerita
Begitu juga kamu yang selalu punya cerita. 
Walau hanya untuk aku dengar
Senja menenggelamkan kita, lalu semua mengalir ke hilir
Ternyata aku hanya pendengar, cerita klasikmu tanpa kejujuran
Catatan Soekarno Hatta, Malang, 31 Desember 2013

Pengantar sebuah teka-teki, gelap dan terang.
Detik lalu kembali ke sedia kala, ketika sebuah emoticon senyum muncul dalam sebuah percakapan di line. Lalu terdiam dalam nada yang belum mampu keluar dari rongga mulut. Belum, hingga semuanya nanti menjadi dalam satu rasa. Entah amarah atau tangisan yang muncul. Memutuskan bertemu  dalam sebuah kerisauan, hendak apa dan untuk membicarakan apa. Menerjang jalanan di Kota Malang yang ramai dengan kebisuan. Berhenti di salah satu kedai kopi yang cukup terkenal. Aroma berbagai kopi menampar hidung penikmat kopi ketika memasuki kedai itu. Aku tersenyum, aku sengaja membawanya kesana. Agar dia tahu aku juga tahu tentang kopi. Aku mencoba memahaminya lagi.

Dua pasang mata itu beradu dalam sedetik, lalu kembali melihat ke secangkir kopi yang menunggu manis dengan aroma khasnya. Masih hening, memulai topik ringan agar suasana pecah. Tapi itu hanya kamuflase belaka. Sekat semakin jauh, karena bayangannya yang ingin menjauh. Gelap mengatakan kalau dia akan pergi, tapi terang tetap berusaha menyakinkan dirinya bahwa dia tak akan pergi.

Tapi semua tersadar ketika senyum terbaca tak ikhlas dari bibir simpulnya. Lalu terang mencoba menerka waktu yang akan tiba. Sebuah lagu lama mengalun pelan, liriknya berbicara. Cinta tersirat kadang lebih menyakitkan daripada cinta tersurat. Terkadang yang tersurat jauh lebih manis dari yang tersirat. Tersirat dalam sebenarnya rasa itu cuma khayalan belaka bahkan seharusnya dia tidak ada. Tapi karena suatu alasan yang tidak pernah terang atau gelap tahu. Semua jatuh dalam gelap dan gelap lagi. Pernah tertawa tapi semua hanya sesaat belaka. Monochrome. Hanya hitam dan putih. Lalu semua sirna karena gelap sebenarnya tak pernah mencintai terang.

Lagi-lagi karena sebuah senyum simpul itu, dia tersadar . Terang masih bodoh. Masih jauh lebih bodoh dari gelap. Hingga malam itu, kopi tak lagi sama rasanya dengan hari kemarin. Awan hitam menyelimuti perjumpaan saat itu, bukan karena malam. Tapi karena awan itu berselimut tebal dalam mata Terang.  Kaku ketika memasuki kamar, nanar ketika menatap kaca. Demi pahit, ini kopi terpahit yang pernah aku rasakan. Berganti dalam waktu yang tak mungkin dikatakan lama. Teka-teki pun dimulai dari senyum simpul itu mengembang.

Tentang sifat yang tak dimengerti
Datang bagai angin dan mencoba menjadi udara. Aku sakit menulis angin dan udara, karena kata ini adalah milik mereka. Perumpamaan adam dan hawa yang sedang menjalin asmara. Tapi aku tetap menulisnya, karena apa? Karena aku terlalu sakit hingga aku tak merasakan lagi goresan itu. Semuanya membekas tanpa meninggalkan sebuah rintihan karena rintihan itu terbungkam dalam sebuah teka-teki.
Kamu yang menjadi udara, untuknya bukan untukku. Lalu aku? Angin kah? Bukan aku tak terdefinisikan karena aku masih tidak bisa menjadi angin. Karena aku hanya sebait dalam ceritamu.
“Pernah nggak berpikir kamu hidup sendiri?” tanyamu kala itu.
“Kenapa mesti sendiri? Di sekelilingku banyak teman, sahabat. Aku lebih suka ramai.”
“Aku lebih sepi,” ungkapmu
“Kenapa?”
“Dengan sepi dan sendiri, aku lebih bisa mensyukuri hidup. Kamu tahu, aku kalau berteman itu milih-milih.”
“Semua orang juga milih-milih kok kalau berteman”
“Nggak semua orang bisa berteman sama aku”
“Terus aku? Kenapa aku bisa jadi temen kamu?”
            Aku lupa jawaban atas pertanyaan terakhirku. Entah itu hanya sebuah kata buaian belaka, yang pasti kala itu aku tidak menganggapnya sebuah buaian. Namun, sesuatu yang sungguh-sungguh aku percaya. Aku ingin mengenalnya, mengetahui semua tentangnya. Menerka-nerka jalan pikirannya. Aku sudah merasa banyak perbedaan antara kita tapi aku ingin tetap mengenalnya. Sekeras apapun yang akan aku lalui, sesering kita bersitegang tentang sebuah pemikiran yang tak sama. Sesering itu rasa suka merayapiku. Aku suka pemikiran baru, tidak monoton dengan pikiran ku. Singkatnya, tidak hanya dalam sebuah ruang subjektif pemikiran satu manusia.
Kita berjumpa
Kita memutuskan bertemu lagi, disebuah kafé mini. Kali ini bukan kopi tapi coklat yang menjadi pengantar manis cerita kita. Aku akui kehadiranmu cukup membuat warna di hari-hari ku, cukup. Cukup untuk melupakan rasa sejenak apa yang ada dalam hati ku. Kegusaran yang cukup membuat ku bimbang. Aku suka bertanya dan selalu aku yang memulai pertanyaan. Kamu menjawab, lalu aku bertanya lagi. Seperti itu berulang-ulang kali. Hingga kamu yang mulai terbiasa untuk bertanya padaku terlebih dahulu.
Sebuah kalimat keluar, menyinggung pertama kali perjumpaan kita. Dalam sebuah inagurasi ‘memuakkan’. Memuakkan aku pakai dari sudut pandangmu. Bukan, bukan ketika inagurasi itu. Aku mengenalmu ketika musim ajaran baru tiba. Seorang laki-laki dengan badan besar dan tatapan mata sinis menatapku, seakan tak menghargai senyuman yang berusaha aku lontarkan kepada puluhan mahasiswa baru yang berbaris di depanku. Tapi aku tak mempedulikan lebih dalam tatapan mu itu, hingga kau mendekat dan berbisik kepadaku.
“Kamu semester berapa, mbak?”
“Semester tiga, kenapa?”
“Adek kelas ku dong mbak,” ucapnya angkuh
“Oh”
Itu percakapan yang aku ingat kala itu. Tak ada lagi interaksi yang terjadi antara kita, tidak ada.  Hari-hari berlalu, aku masih tidak mengenalnya. Namanya pun aku tak tahu hingga malam sebelum inagurasi. Layaknya seorang pembimbing ketika akan habis masa bimbingannya. Aku berkumpul bersama adik-adik mahasiswa baru yang terkumpul dalam sebuah nama pleton 29. Malam itu aku mendekat dengan mereka, ku luangkan waktu ku untuk melihat mereka berlatih sebuah drama. Kaku awalnya tapi perlahan mencair berbaur dalam canda tawa mereka. Aku melihatnya lagi, seperti pertama bertemu. Dia tetap angkuh, tatapannya matanya sinis. Aku tak menyukai tatapan matanya. Duduk di sampingku dan berbaur dengan yang lain. Percakapan kami hanya seputar inagurasi tidak lebih. Esoknya Malang terang tak ada awan hitam menyelimuti, panas mencekik. Kita akan bertemu lagi di sebuah inagurasi perpisahan. Dia datang.
                        “Datang juga ini anak” batinku
Semakin matahari bergerak tegak lurus. Panas semakin mencekik, suasana yang semakin membosankan. Bosan melanda, ketidakjelasan acara menyergap. Semua panas, kepanasan dalam kebosanan. Aku pernah merasakan kebosanan seperti itu. Aku tahu rasanya. Aku berdiri menatap mereka dan didepanku ada dia.
                                    “Mbak, beliin makanan dong di indomaret?” suruh dia.
                                    “Kamu nggak bawa makan siang?” tanyaku.
                                    “Enggak” jawabnya datar.
Dia mengambil uang dari dalam dompernya dan memberikan padaku. Aku tanpa berpikir dua kali, bergegas pergi ke indomaret. Membeli minuman dan makanan pesannya. Sejatinya, aku peduli denganya karena dia mahasiswa baru yang aku bimbing tanpa munafik ada sedikit rasa penasaran menghantui kenapa dia diam, kenapa dia baru masuk tahun ini, kenapa  dia tidak takut, kenapa tatapan matanya. Pertanyaan kenapa lah yang kemudian membawa ku masuk ke dalam dunianya.
Media
Layaknya muda-mudi yang sedang melakukan pendekatan, kita bertemu lagi meluangkan waktu diantara padatnya jadwal kita. Bercerita lebih dekat, berupaya agar kita dekat. Aku menyukai sesorang yang mengenal duniaku. Aku ceritakan semua kegiatanku, kesibukkan hari-hariku dan segalanya. Begitu juga dengan kamu, yang terobsesi dengan dunia bisnis. Aku menghargainya. Tapi apa yang aku tangkap  tentangmu mengenai duniaku, tak seperti aku menghargai duniamu.
“Aku nggak suka nonton tv. Beritanya itu pasti udah di setting. Orang-orang media itu biasanya memberitakan yang nggak bener? Ngapain sih kamu suka media?”
Aku bilang, aku menyukai menulis. Aku menyukai dunia wartawan, aku suka berinteraksi dengan orang. Aku suka ketika aku mampu menulisnya menjadi sebuah berita. Aku rasa ucapan ku itu hanya di dengar olehmu dan di tolak mentah-mentah dalam otakmu. Potret yang tampak jelas yang aku lihat dari raut wajahmu adalah kamu tak suka aku membicarakan sebuah rumah belajarku sebagai anak media. Tak suka. Kamu tak suka mendengarnya. Sempat berpikir, mungkin kamu juga tak menyukai seorang aktivis kampus? Lebih tepat aktivis pers. Ketika hari-hariku kuhabiskan dalam ruang itu. Bagi ku tak masalah, aku menghargai pendapatmu. Juga sebuah kalimat tanya yang selalu kamu lontarkan
“Kamu nggak bosen ke DIANNS mulu?”
“Nggak” jawabku dalam hati

14 desember, kalau tidak salah sebuah malam minggu yang melelahkan ketika dari terbit fajar hingga tengah malam. Sepertinya rumah itu sudah mendarah daging sebelum aku mengenal kamu. Tapi aku juga ingin mengenggam kamu. Waktu menunjukkan pukul 20:30 kami masih duduk serius, menunggu sebuah kata penutup mengakhirinya. Dan ketika semua usai, aku bergegas kembali ke rumah. Aku terlalu takut kehilangan sebuah momen kita, padahal rasanya tubuhku sudah letih untuk beranjak. Kamu bertanya berkali-kali. Apa aku tak kelelahan, aku menjawab tidak. Aku ingin mengenggam kedua-duanya. Tak peduli selelah apa ragaku dan selarut apa malam itu. Dan entah apa yang merasuki ku, aku mabuk. Iya, aku mabuk. Aku hanya ingin ada cerita sebuah malam minggu ada kamu. Tak peduli esok pagi harus berangkat saat fajar tiba untuk membimbing calon-calon pers mahasiswa lagi.
Pendengar Dan Seorang Yang Didengar
Menulis lagi, pukul  23:35. Irama musik  yang baru kukenal mengalun sejak satu jam lalu. Hoodie membalut lekat tubuhku yang mulai terserang dinginnya malam. Duduk mematung menatap layar bisu, hanya mendengar irama. Mendengar? Aku teringat tentang malam itu. Dimana aku menjadi pendengar yang baik tanpa tahu entah maksud apa yang dia bicarakan. Dan aku tetap di posisi menjadi pendengar yang baik. Aku mendengar, mendengar, dan mendengar lagi. Aku dengar, aku berharap aku beranjak dari posisi sebagai pendengar. Tapi tidak, dia hanya butuh pendengar. Tidak lebih. Lalu ketika tak ada yang dia bicarakan dia tak butuh pendengar. Pergi merayap sepi. Aku menertawai diriku sendiri sebagai pendengar. Rasanya ingin aku berkata, aku bukan pendengar cerita-ceritamu dimana tak ada aku dalam tiap kalimat yang terlontar.

Tapi malam ini bukan tentang itu, tentang seorang yang ku kagumi ketika aku membaca tulisannya. Ketika aku mendengarnya berbicara lantang. Kagum atas ciptaan Tuhan, manusia. Tak lebih tak kurang aku mengaguminya. Aku suka ketika aku bengong menerkap-nerka setiap maksud ucapannya. Aku suka ketika dia memandang ku aneh, ketika tingkah ku bodoh. Aku suka ketika dia mengeluarkan kata-kata mujarabnya. Lantang! Aku belajar menjadi seseorang yang akan dilihatnya suatu hari nanti. Melihatku mengeluarkan mantra dan kata-kata dari jemariku yang mengalun pelan tapi pasti. Demi nadiku, aku pasti bisa.

Tentang kamu yang bicara segalanya dan aku menjadi pendengar. Ketahuilah, aku bukan sepasang telinga. Aku bergerak dan bernafas layaknya dirimu. Aku bukan perempuan itu, bukan. Sepatu ku masih teguh ku pakai hingga detik ini, masih melekat di jemariku. Melupakan sebuah kritik tajam yang tertancap, sebuah kalimat “Suka pake sepatu?” dengan nadamu yang aneh. Dengan pertanyaan “Kenapa suka make jaket gede banget sih?” dengan nadamu yang miris. Terhenyak, engkau siapa? Masih ku ingat jelas kata-kata itu. Mungkin takkan pernah aku lupakan. Seharga itukah pecitraan diriku, sepasang sepatu dan jaket kedodoran. Itu kita baru kenal.  Aku suka sesorang beropini, tapi tidak untuk orang baru di hidupku.

Ada kala aku jatuh dalam sebuah kata kritikan, seperti “Ini tulisan berita apa novel?”. Saat itu aku benar-benar jatuh, ku akui kata-kata itu mampu membuatku terombang-ambing dalam hitungan minggu. Mencari cela dimana harus aku benarkan. Aku menjadi phobia dengan berita, tak ku sentuh berita itu. Aku tak menulis hanya mewawancarai saja. Tapi itu tidak lagi, kritik itu adalah pil manis untuk ku dikemudian hari bukan sekarang. Aku bangkit ketika ada kata yang terlontar untukku, “kamu bisa nulis!”. Aku memikirkan kalimat itu hingga fajar tiba, lalu kuambil lagi dayung dan akan ku kayuh perahuku hingga batas terakhir.

Pendengar? Romannya aku sudah bukan pendengarnya lagi. Karena dia perlahan memudar menyapu jejaknya. Seperti tak pernah ada sesuatu antara kita. Aku tak mengerti lagi. Hingga aku menulis ini di kalimat terakhir, tentang pendengar aku belum mengerti. Aku perangkai kata tapi aku miskin mengerti makhluk Tuhan satu itu, adam.
Bangun, Sebab pagi terlalu berharga. Tuk kita lewati. Dengan tertidur, lirik Banda Neira mengalun pelan di telinganya.
Layaknya manusia normal ketika dia bangun, ketika dia memandang dunia kala fajar mulai bersinar terang. Membuka laptop dan melihat media sosial. Lalu Ranum, tersenyum ketus. Biasa, pagi itu dia melihat media sosial, ingin tertawa tapi lebih baik sedih. Lucu, seperti drama yang hendak ingin dimainkan. Ranum ingin mengeluarkan kata-kata nanar sedih nan menyayat hati. Tapi, semua terdiam dan tak ingin keluar. Hingga hanya keluar senyuman munafik dari bibirnya. Pagi itu belum ada secangkir kopi hangat yang menemaninya. Tapi matanya sudah terlalu hangat untuk menatap dan membaca media sosial. Temperatur cuaca tertulis tiga belas derajat celcius tapi panas menghinggapi tubuh Ranum. Menjelajah di media sosial hingga habis sudah apa yang membuatnya penasaran, ingin rasanya menertawakan dirinya sendiri. Karena dia tak ingin menbuat dirinya terlihat menyedihkan. Tamparan dari sebuah media sosial terkadang lebih menyakitkan, dunia maya oh dunia maya.
"Haruskah aku buat secangkir kopi hangat? Jika  tubuhku sudah panas?" Ucap Ranum dalam hati.
Teringat tentang tulisannya semalam, belum genap dua belas jam dia usai menulis. Tapi, tulisan itu seakan sampah. Sampah yang tak layak dibaca dan begitu memalukan untuk dibedah. Pendengar, ini tentang pendengar kawan. Sepertinya tak akan lagi ada pendengar. Tak akan ada lagi, semua telah usai dengan sebuah pesan dari pagi.
Mentari masih terus menyala terang, tapi tidak untuk mata Ranum. Hujan, menetes dari kedua kelopak matanya. Kelabu membayang, menggenang, dan membasahi pagi itu. Haruskah pergi  ke antah berantah? Dan tak terlihat lagi. Haruskan dia menghilang dibalik pesan pagi yang indah. Indah, karena dua insan Tuhan sedang dimabuk asmara. Sungguh dia manusia egois jika membenci dua makhluk Tuhan yang sedang terpanah asmara, menuai kata-kata cinta diantara mereka.
"Tuhan tidak menyukai makhluk egois" ucap Ranum Lirih
Lalu aku harus bagaimana? Aku membuat sebuah pesan yang harusku jawab sebelum matahari bersinar tegak. Maukah kau membantu ku menjawab? Aku bertanya untuk aku berdiri. Aku bertanya untuk sebuah senyum yang harus mengembang di bibirku. Kalimat ini ditutup oleh sebuah alunan yang berjudul Rindu dari Banda Neira.

Kita bertemu dengan kopi dan diakhiri dengan kopi
Terompet berbunyi, kita mematung. Mereka tertawa, kita membisu. Membisu dengan dingin. Membisu karena tak ada lagi kata yang harus terucap diantara kita. Aku diam dengan semua jawaban teka-teki yang telah kau buat. Kamu diam dengan rahasiamu yang tak kau katakana. Kusentuh cangkir, tak lagi panas. Kopi yang panas mulai menciut menjadi hangat, perlahan menjadi dingin. Seperti kaum adam disampingku, dingin.
Haruskah aku memulai pembicaraan? Haruskah? Untuk tiga menit pertanyaan itu melayang-layang di kepala ku. Akhirnya aku bersuara. Pertanyaan datar dan kaku.
“Kenapa ngajak aku main?” tanya ku
“Kenapa? Daripada kamu galau terus” sindir dia
Aku mencoba mencairkan suasana. Aku tertawa.
“Apaan sih? Aku galau gara-gara sering dengerin lagu anak-anak aja di sekret,” elakku
Seperti manusia yang baru berjumpa lagi setelah sekian lama menghilang. Menghilang dalam jejaknya menyentuh tanah dan dapat meraba suhu panas ditubuhnya. Hanya lewat media sosial aku melihatnya. Tak mampu menyentuh tubuhnya. Sejatinya bukan esensi itu yang hilang, tapi sebuah cerita yang hilang. Cerita tentangnya yang hilang. Sebuah kejujuran yang sengaja ditutupi. Itu yang hilang dan aku tak mampu untuk bertanya, karena aku terlalu takut. Malam itu bukan kopi pahit kawan, bukan mendailing yang asam rasanya. Tapi aku sudah terlalu pahit untuk mendengarnya lagi. Salahkah kawan? Aku tak bertanya, jika teka-teki sudah terpecahkan. Lalu, untuk apa dia datang? Untuk menertawakan ku. Untuk melihat betapa menyedihkan diriku. Sungguh, aku tak mampu. Aku hanya mendengar apa yang diceritakan, cukup. Aku tak akan bertanya lagi. Aku memilih diam. Biarkan dia bercerita. Biarkan sudah. Hingga kita lelah dan berhenti bersuara. Lampu malam itu terang tapi aku merasa gelap. Jalanan itu bising tapi aku merasa senyap. Aku tak menatap matanya malam itu, karena semuanya bias. Cukup aku mendengar saja, bicaralah dengan telingaku.
Rindu

Ketahuilah rindu bukan sekedar alasan untuk bercumbu. Rindu bukan alasan untuk tenggelam jauh dalam sebuah pelukkan, tapi rindu cukup untuk sebuah alasan adam dan hawa mengenggam. Rindu makhluk ciptaan Tuhan dengan segala kepunyaan nya. Rindu itu membuatnya semakin ada, semakin nyata. Bahkan terlalu nyata untuk digenggam.

Cinta

Cinta tak sebatas kecupan belaka. Tak sebatas saling memeluk. Aku tak menghargai cinta seperti itu. Untukku cinta adalah komitmen, komitmen itu cinta. Cinta ada karena komitmen. Bukan alasan untuk nafsu. Cinta bukan alasan untuk meraba, bukan. Ada yang bilang cinta itu suci. Iya, cinta itu suci. Putih. Tak perlu menggoreskan warna lain.Tak perlu mencampurkan rasa lain. Bukan perspektif agama, sekali lagi bukan. Tapi tentang harga dari sebuah cinta, tentang harga dari sebuah diri. Tentang harga diri yang berharga.

Aku bukan perempuan pendiam, bukan perempuan gemulai. Aku perempuan yang keras. Aku perempuan yang liar. Aku perempuan yang bebas. Aku bebas bergerak, bermain, dan berekspresi. Tapi kamu salah menilai tentang aku. Aku bebas bukan berarti aku nakal. Kamu tahu? Aku tak suka kaum adam yang menyentuhku. Sekali lagi bukan pespekstif agama. Ilmu ku tak sehebat ilmumu. Tapi apa yang ku pegang adalah harga mati untukku.  Maka wajar jika dimata ku, dirimu kembali ke titik nol.

Aku bebas bukan berarti aku menganggap sebuah hubungan itu bebas. Aku bebas mengenal siapapun kaum adam, tapi bukan untuk terlalu dekat. Karena ada jarak yang harus terpisah.
Ketahuilah  rangga, dalam sebuah diri citra seseorang ada temu yang harus kau pahami dan ada sebuah prinsip yang harus kau hargai. Jika apa yang ku ucapkan benar, telanlah tapi jika tidak anggap saja sebuah goresan tinta tanpa makna.

Rangga

Jika kelabu tak datang, mungkin aku masih terdiam menanti jawaban. Namun, aku tak melakukanya. Karena engkau sudah memberiku jawaban dalam sebuah teka-teki yang harus ku pecahkan.
Ingatkah pada jalanan yang pernah aku ceritakan, mungkin kita akan bertemu di kala sakura gugur berterbangan atau kita bertemu dalam sebuah berita bahagia tanpa ada kita.

Senyum manis dari Osaka, Ranum.

Surat ini ku tulis, menjawab perjumpaan terakhir kita atas pertanyaanmu. Apa yang akan lakukan nanti ketika aku lulus kuliah. Ingin menjadi apa aku dan apa yang aku berikan untuk orang tua ku. Kapan kamu akan memikirkan lawan jenis? Ketahuilah, aku disini menulis surat ini dikelilingi sakura-sakura yang bertebangan. Indah bukan? Tak mampu aku melukiskannya dalam sebuah kata. Aku disini, menikmati trotoar dikala musim gugur berguguran dan musim semi dimana sakura bermekaran. Bagaimana kamu dan tentang kopi mu? Adakah kabar bahagia yang ingin kau ceritakan padaku. Aku menunggu sebuah cerita darimu. Sebuah kejujuran yang ingin ku dengar dari bibirmu walau sudah berlalu tahun demi tahun.
Kalau kau ingin mendengarkan, sesungguhya aku ingin bercerita tak hanya dalam sepenggal bait yang kau baca. Aku masih setia menantinya. Dia bukan kamu. Trotoar itu sudah tertutup salju tebal, terompet kembali berbunyi lagi di tahun kedua. Tapi aku masih disini. Menanti seseorang yang pernah aku ceritakan tentang ini. Dengarlah rangga, ketika hatiku berkecamuk kau datang membawa warna mengalihkan ku tentang dia. Tapi ternyata itu hanya sesaat belaka. Aku tidak sakit karena dirimu tapi hanya ingin mendengar tentang cerita sebenarnya tentang angin dan udara. Aku melewatkan sebuah bagian tentang dia, iya aku sengaja melewatkannya. Bukan dalam cerita ini aku menceritakan. Tahun ketiga ku disini mungkin aku mampu untuk menulis cerita tentangnya.

Terdengar derap langkah seseorang menaiki tangga yang terbuat dari kayu. Lalu, suara tangan seseorang mengetuk pintu. Seorang pria memakai baju hangat dan kacamata menempel di matanya berdiri di depan pintu. Membawa sebuah topi yang berbentuk kerucut dan terompet berwarna emas. Ketika perempuan itu membuka pintu, senyum simpulnya mengembang. Happy new year, I’m here!
                                                                                    Tahun ketiga di Osaka, Jepang.