Lemari ini tak begitu besar, tak juga padat dengan buku-buku yang berjajar. Tapi, lemari ini memuat sastra-sastra yang mungkin tak terkenal namanya seantero nusantara. Karya-karya sastrawan yang terekam dalam sebuah lembar kertas coklat yang mulai memudar tenggelam jaman. Sebut saja sajak-sajak dari Hasan Aspahani.
Malam Ini Tadinya Aku Ingin Menulis Sebuah Sajak Cinta
TAPI aku hanya punya kata: "takut",
"pedih","kabur", dan "sia-sia". Sajak
apa yang bisa ditulis dari kata-kata itu?
Bait apa yang bisa dibuat dalam sebuah
sajak cinta, yang memuat kata "takut"?
Mungkin begini: aku takut membaca
kata yang kutahu itu adalah namamu,
karena semakin lama aku melihat
huruf-hurufnya, aku seperti melihat
huruf-huruf itu berubah menjadi bentuk-bentuk aneh, musykil, ganjil,
seperti huruf dari aksara asing,
yang aku tak tahu bagaimana harus membacanya. Masihkah itu namamu? Atau
itu kata-kata peringatan? Atau ancaman?
Aku tak tahu, dan itu sebabnya aku
merasa takut.......
*
Lalu bagaimana dengan kata "pedih"?
Aku ingin menelepon M Aan Mansyur.
Aku kira dia sangat tahu arti kata
itu, dan dia paling lihai memakai
kata itu dalam sajak-sajaknya. Tapi,
pukul 11.28 malam, dan wilayah waktu kami berselisih dua jam, sudah sangat
larut waktu hanya untuk mempercakapkan
bagaimana memakai sebuah kata "pedih"
untuk sebuah sajak cinta.
Lagi pula aku teringat satu bait
sajaknya: Cinta adalah jatuhnya reranting
kering, untuk setumbuh tunas yang
mungkin... Bait yang saya petik
dari sajaknya "Cinta Adalah" dalam buku
"Hujan Rintih-Rintih".
Tak ada kata "pedih" dalam petikan itu.
Tapi, terasa ada pedih yang cukup pedih
di larik itu. Betapa jatuh daun adalah
sebuah pasti, sementara tumbuh tunas
yang diuntukkannya, adalah sebuah mungkin
yang hanya.
Jadi, aku kira, kata "pedih" yang kupunya
juga tak cukup bagiku untuk menulis sebuah
sajak cinta malam ini.
*
"Kabur" sesungguhnya adalah kata yang
baik. Ia bisa berarti samar, bisa pula
berarti pergi tanpa izin. Ini kutulis
begitu saja tanpa melihat kamus. Tapi,
karena tadinya malam ini aku ingin
menuliskan sebuah sajak cinta, dan aku
sangat tidak siap untuk itu, aku lalu
terbawa pada sebuah bait sajak W.S. Rendra
penyair yang saat kutulis sajak ini,
belum lagi 40 hari wafatnya.
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.
Sekali pergi menolak rindu. Ada duka, pedih dan
air mata biru, tapi aku menolak rindu.
Aku tak bisa lepas dari bait yang amat
kuat, dari sajak "Lagu Angin", dalan buku
"Empat Kumpulan Sajak" itu. Ini bait
tentang kepergian? tentang keinginan untuk
berpisah? Tentang rindu yang dipastikan
akan ada? Tapi si "aku" dalam sajak itu
(ah betapa bodohnya) merasa bisa menolaknya?
Kata-kata dalam petikan larik itu, begitu
sederhana, tapi ia digubah dengan sempurna,
sehingga menciptakan lapisan metafora,
jalinan makna, yang tak habis-habisnya kutafsirkan
sendiri, malam ini, di sini.
Dahsyatnya! Dahsyatnya! Aku berdaya,
sekaligus begitu tak berdaya dibuatnya.
Serasa aku jadi akan bisa membuat bait
yang sebertenaga itu, tetapi tidak malam
ini, malam aku matikata!
*
Aku percaya tak ada yang sia-sia, itu
sebabnya, kata "sia-sia" juga tak mampu
kusajakkan malam ini, untuk sebuah sajak
cinta yang ingin kutulis.
Aku ingat, aku pernah membaca membaca
sajak Gus tf (begitulah memang namanya
ditulis, dengan tf kecil). sajak yang
judulnya "Kita Pernah". Ini bukan
tentang kesia-siaan, ini tentang bagaimana
sebuah dimakna, walau hanya sebagai
sebuah, ah.... aku petikan saja dulu bait sajak dari buku "Sangkar Daging" itu:
tapi kita pernah berkenalan, berulangkali
kaukunjugi aku, sebagai aduh dari kepedihan.
Lihat, perkenalan, kunjungan, yang
berulang kali, mungkin bisa jadi sia-sia
karena beban yang ada dalam pertemuan itu,
justru menjadikan sebuah sakit, sebuah
perih. Tapi, itulah yang membuatnya tak
jadi sia-sia: ada sesuatu yang bisa disebagaikan, meskipun itu adalah sebuah
"aduh dari kepedihan"! Tak sia-sia bukan?
Ya, malam ini tadinya aku ingin
menulis sebuah sajak cinta. Ya....
Buku Sajak Hasa Aspahani |
Aku menemukannya dideretan buku-buku yang tertulis koleksi buku LPM DIANNS dalam sebuah lemari kayu tua. Puisinya yang membuatku tenggelam adalah "Malam Ini Tadinya Aku Ingin Menulis Sebuah Sajak Cinta"
Lemari Sastra |
Malam Ini Tadinya Aku Ingin Menulis Sebuah Sajak Cinta
TAPI aku hanya punya kata: "takut",
"pedih","kabur", dan "sia-sia". Sajak
apa yang bisa ditulis dari kata-kata itu?
Bait apa yang bisa dibuat dalam sebuah
sajak cinta, yang memuat kata "takut"?
Mungkin begini: aku takut membaca
kata yang kutahu itu adalah namamu,
karena semakin lama aku melihat
huruf-hurufnya, aku seperti melihat
huruf-huruf itu berubah menjadi bentuk-bentuk aneh, musykil, ganjil,
seperti huruf dari aksara asing,
yang aku tak tahu bagaimana harus membacanya. Masihkah itu namamu? Atau
itu kata-kata peringatan? Atau ancaman?
Aku tak tahu, dan itu sebabnya aku
merasa takut.......
*
Lalu bagaimana dengan kata "pedih"?
Aku ingin menelepon M Aan Mansyur.
Aku kira dia sangat tahu arti kata
itu, dan dia paling lihai memakai
kata itu dalam sajak-sajaknya. Tapi,
pukul 11.28 malam, dan wilayah waktu kami berselisih dua jam, sudah sangat
larut waktu hanya untuk mempercakapkan
bagaimana memakai sebuah kata "pedih"
untuk sebuah sajak cinta.
Lagi pula aku teringat satu bait
sajaknya: Cinta adalah jatuhnya reranting
kering, untuk setumbuh tunas yang
mungkin... Bait yang saya petik
dari sajaknya "Cinta Adalah" dalam buku
"Hujan Rintih-Rintih".
Tak ada kata "pedih" dalam petikan itu.
Tapi, terasa ada pedih yang cukup pedih
di larik itu. Betapa jatuh daun adalah
sebuah pasti, sementara tumbuh tunas
yang diuntukkannya, adalah sebuah mungkin
yang hanya.
Jadi, aku kira, kata "pedih" yang kupunya
juga tak cukup bagiku untuk menulis sebuah
sajak cinta malam ini.
*
"Kabur" sesungguhnya adalah kata yang
baik. Ia bisa berarti samar, bisa pula
berarti pergi tanpa izin. Ini kutulis
begitu saja tanpa melihat kamus. Tapi,
karena tadinya malam ini aku ingin
menuliskan sebuah sajak cinta, dan aku
sangat tidak siap untuk itu, aku lalu
terbawa pada sebuah bait sajak W.S. Rendra
penyair yang saat kutulis sajak ini,
belum lagi 40 hari wafatnya.
Aku pergi dan kakiku adalah hatiku.
Sekali pergi menolak rindu. Ada duka, pedih dan
air mata biru, tapi aku menolak rindu.
Aku tak bisa lepas dari bait yang amat
kuat, dari sajak "Lagu Angin", dalan buku
"Empat Kumpulan Sajak" itu. Ini bait
tentang kepergian? tentang keinginan untuk
berpisah? Tentang rindu yang dipastikan
akan ada? Tapi si "aku" dalam sajak itu
(ah betapa bodohnya) merasa bisa menolaknya?
Kata-kata dalam petikan larik itu, begitu
sederhana, tapi ia digubah dengan sempurna,
sehingga menciptakan lapisan metafora,
jalinan makna, yang tak habis-habisnya kutafsirkan
sendiri, malam ini, di sini.
Dahsyatnya! Dahsyatnya! Aku berdaya,
sekaligus begitu tak berdaya dibuatnya.
Serasa aku jadi akan bisa membuat bait
yang sebertenaga itu, tetapi tidak malam
ini, malam aku matikata!
*
Aku percaya tak ada yang sia-sia, itu
sebabnya, kata "sia-sia" juga tak mampu
kusajakkan malam ini, untuk sebuah sajak
cinta yang ingin kutulis.
Aku ingat, aku pernah membaca membaca
sajak Gus tf (begitulah memang namanya
ditulis, dengan tf kecil). sajak yang
judulnya "Kita Pernah". Ini bukan
tentang kesia-siaan, ini tentang bagaimana
sebuah dimakna, walau hanya sebagai
sebuah, ah.... aku petikan saja dulu bait sajak dari buku "Sangkar Daging" itu:
tapi kita pernah berkenalan, berulangkali
kaukunjugi aku, sebagai aduh dari kepedihan.
Lihat, perkenalan, kunjungan, yang
berulang kali, mungkin bisa jadi sia-sia
karena beban yang ada dalam pertemuan itu,
justru menjadikan sebuah sakit, sebuah
perih. Tapi, itulah yang membuatnya tak
jadi sia-sia: ada sesuatu yang bisa disebagaikan, meskipun itu adalah sebuah
"aduh dari kepedihan"! Tak sia-sia bukan?
Ya, malam ini tadinya aku ingin
menulis sebuah sajak cinta. Ya....