Mungkin terlalu dini untuk menulisnya. Tetapi aku ingin menulisnya. Cerita tentang gadis dibalik jaket tebalnya. Gadis itu biasa, tak cantik. Tak anggun. Gadis itu duduk disudut ruangan. Mengamati sekitarnya. Lalu gadis itu bertanya dalam hatinya. Embun tak lagi sama seperti dulu. Semua telah berbeda. Semua berubah. Tanpa perlu tangan untuk menulis episode-episode baru. Dia tertinggal. Jauh tertinggal. Dia menyadari tak seharusnya dia bersandar.
Tetapi gadis itu tetap bersandar. Tak goyang. Tak ingin pergi.Semakin hari gadis itu sadar, dia harus keluar. Dia harus menjauh. Menjauh dari sandaran itu. Lalu dia bingung, bagaimana caranya ? Perih bukan lagi berbekas goresan tapi tertancap tajam dalam rasa. Gadis itu masih diam, dia berdiri dimana tempatnya berada. Tak beranjak. Hingga dia lelah.
Dia menulis sesukannya. Dia menghilangkan rasanya.
Lalu gadis itu mati dalam tumpukan sajaknya. Sajaknya tak indah. Sajaknya tak mengandung mantra-mantra ajaib. Tak juga mengandung kata-kata indah. Dia tak sepintar itu, tapi dia tetap menulis. Semuanya dia tulis. Entah air matanya berlinang dia tetap menulisnya. Entah ceritanya tak berakhir bahagia dia tetap menulisnya. Gadis itu mencoba bertahan.
Dia takkan pernah mundur dari tempatnya. Dia tetap menyudut di ruangan. Lalu semuanya pergi meninggalkannya. Terucap perpisahan. Gadis itu menjerit, dia menangis kencang. Hingga suaranya tak terdengar. Hingga lantunanya hilang. Membekas air mata belinang di pipinya. Dia muak hendak bercerita ke siapa. Dia sakit. Sakitnya tertusuk jiwa.
Lalu sebuah kata perpisahan terucap. Selamat tinggal untukmu embun, pemeran utama ceritaku.