Malang selalu punya tempat untuk bercerita
Begitu juga kamu yang selalu punya cerita.
Walau hanya untuk aku dengar
Senja menenggelamkan kita, lalu semua mengalir ke hilir
Ternyata aku hanya pendengar, cerita klasikmu tanpa
kejujuran
Catatan Soekarno Hatta,
Malang, 31 Desember 2013
Pengantar
sebuah teka-teki, gelap dan terang.
Detik lalu kembali ke sedia kala, ketika sebuah emoticon senyum muncul dalam sebuah
percakapan di line. Lalu terdiam
dalam nada yang belum mampu keluar dari rongga mulut. Belum, hingga semuanya
nanti menjadi dalam satu rasa. Entah amarah atau tangisan yang muncul.
Memutuskan bertemu dalam sebuah
kerisauan, hendak apa dan untuk membicarakan apa. Menerjang jalanan di Kota Malang
yang ramai dengan kebisuan. Berhenti di salah satu kedai kopi yang cukup
terkenal. Aroma berbagai kopi menampar hidung penikmat kopi ketika memasuki
kedai itu. Aku tersenyum, aku sengaja membawanya kesana. Agar dia tahu aku juga
tahu tentang kopi. Aku mencoba memahaminya lagi.
Dua pasang mata itu beradu dalam sedetik, lalu kembali
melihat ke secangkir kopi yang menunggu manis dengan aroma khasnya. Masih
hening, memulai topik ringan agar suasana pecah. Tapi itu hanya kamuflase
belaka. Sekat semakin jauh, karena bayangannya yang ingin menjauh. Gelap
mengatakan kalau dia akan pergi, tapi terang tetap berusaha menyakinkan dirinya
bahwa dia tak akan pergi.
Tapi semua tersadar ketika senyum terbaca tak ikhlas dari
bibir simpulnya. Lalu terang mencoba menerka waktu yang akan tiba. Sebuah lagu
lama mengalun pelan, liriknya berbicara. Cinta tersirat kadang lebih
menyakitkan daripada cinta tersurat. Terkadang yang tersurat jauh lebih manis
dari yang tersirat. Tersirat dalam sebenarnya rasa itu cuma khayalan belaka
bahkan seharusnya dia tidak ada. Tapi karena suatu alasan yang tidak pernah
terang atau gelap tahu. Semua jatuh dalam gelap dan gelap lagi. Pernah tertawa
tapi semua hanya sesaat belaka. Monochrome.
Hanya hitam dan putih. Lalu semua sirna karena gelap sebenarnya tak pernah
mencintai terang.
Lagi-lagi karena sebuah senyum simpul itu, dia tersadar .
Terang masih bodoh. Masih jauh lebih bodoh dari gelap. Hingga malam itu, kopi
tak lagi sama rasanya dengan hari kemarin. Awan hitam menyelimuti perjumpaan
saat itu, bukan karena malam. Tapi karena awan itu berselimut tebal dalam mata
Terang. Kaku ketika memasuki kamar,
nanar ketika menatap kaca. Demi pahit, ini kopi terpahit yang pernah aku
rasakan. Berganti dalam waktu yang tak mungkin dikatakan lama. Teka-teki pun
dimulai dari senyum simpul itu mengembang.
Tentang
sifat yang tak dimengerti
Datang bagai angin dan mencoba menjadi udara. Aku sakit
menulis angin dan udara, karena kata ini adalah milik mereka. Perumpamaan adam
dan hawa yang sedang menjalin asmara. Tapi aku tetap menulisnya, karena apa?
Karena aku terlalu sakit hingga aku tak merasakan lagi goresan itu. Semuanya
membekas tanpa meninggalkan sebuah rintihan karena rintihan itu terbungkam
dalam sebuah teka-teki.
Kamu yang menjadi udara, untuknya bukan untukku. Lalu aku?
Angin kah? Bukan aku tak terdefinisikan karena aku masih tidak bisa menjadi
angin. Karena aku hanya sebait dalam ceritamu.
“Pernah nggak berpikir kamu hidup sendiri?” tanyamu kala
itu.
“Kenapa mesti sendiri? Di sekelilingku banyak teman,
sahabat. Aku lebih suka ramai.”
“Aku lebih sepi,” ungkapmu
“Kenapa?”
“Dengan sepi dan sendiri, aku lebih bisa mensyukuri hidup.
Kamu tahu, aku kalau berteman itu milih-milih.”
“Semua orang juga milih-milih kok kalau berteman”
“Nggak semua orang bisa berteman sama aku”
“Terus aku? Kenapa aku bisa jadi temen kamu?”
Aku lupa jawaban atas pertanyaan terakhirku.
Entah itu hanya sebuah kata buaian belaka, yang pasti kala itu aku tidak
menganggapnya sebuah buaian. Namun, sesuatu yang sungguh-sungguh aku percaya.
Aku ingin mengenalnya, mengetahui semua tentangnya. Menerka-nerka jalan pikirannya.
Aku sudah merasa banyak perbedaan antara kita tapi aku ingin tetap mengenalnya.
Sekeras apapun yang akan aku lalui, sesering kita bersitegang tentang sebuah
pemikiran yang tak sama. Sesering itu rasa suka merayapiku. Aku suka pemikiran
baru, tidak monoton dengan pikiran ku. Singkatnya, tidak hanya dalam sebuah
ruang subjektif pemikiran satu manusia.
Kita
berjumpa
Kita memutuskan bertemu lagi, disebuah kafé mini. Kali ini
bukan kopi tapi coklat yang menjadi pengantar manis cerita kita. Aku akui kehadiranmu
cukup membuat warna di hari-hari ku, cukup. Cukup untuk melupakan rasa sejenak
apa yang ada dalam hati ku. Kegusaran yang cukup membuat ku bimbang. Aku suka
bertanya dan selalu aku yang memulai pertanyaan. Kamu menjawab, lalu aku
bertanya lagi. Seperti itu berulang-ulang kali. Hingga kamu yang mulai terbiasa
untuk bertanya padaku terlebih dahulu.
Sebuah kalimat keluar, menyinggung pertama kali perjumpaan
kita. Dalam sebuah inagurasi ‘memuakkan’. Memuakkan aku pakai dari sudut
pandangmu. Bukan, bukan ketika inagurasi itu. Aku mengenalmu ketika musim
ajaran baru tiba. Seorang laki-laki dengan badan besar dan tatapan mata sinis
menatapku, seakan tak menghargai senyuman yang berusaha aku lontarkan kepada
puluhan mahasiswa baru yang berbaris di depanku. Tapi aku tak mempedulikan
lebih dalam tatapan mu itu, hingga kau mendekat dan berbisik kepadaku.
“Kamu semester berapa, mbak?”
“Semester tiga, kenapa?”
“Adek kelas ku dong mbak,” ucapnya
angkuh
“Oh”
Itu percakapan yang aku ingat kala itu. Tak ada lagi interaksi
yang terjadi antara kita, tidak ada.
Hari-hari berlalu, aku masih tidak mengenalnya. Namanya pun aku tak tahu
hingga malam sebelum inagurasi. Layaknya seorang pembimbing ketika akan habis
masa bimbingannya. Aku berkumpul bersama adik-adik mahasiswa baru yang
terkumpul dalam sebuah nama pleton 29. Malam itu aku mendekat dengan mereka, ku
luangkan waktu ku untuk melihat mereka berlatih sebuah drama. Kaku awalnya tapi
perlahan mencair berbaur dalam canda tawa mereka. Aku melihatnya lagi, seperti
pertama bertemu. Dia tetap angkuh, tatapannya matanya sinis. Aku tak menyukai
tatapan matanya. Duduk di sampingku dan berbaur dengan yang lain. Percakapan
kami hanya seputar inagurasi tidak lebih. Esoknya Malang terang tak ada awan
hitam menyelimuti, panas mencekik. Kita akan bertemu lagi di sebuah inagurasi
perpisahan. Dia datang.
“Datang juga ini anak” batinku
Semakin matahari bergerak tegak lurus. Panas semakin
mencekik, suasana yang semakin membosankan. Bosan melanda, ketidakjelasan acara
menyergap. Semua panas, kepanasan dalam kebosanan. Aku pernah merasakan
kebosanan seperti itu. Aku tahu rasanya. Aku berdiri menatap mereka dan
didepanku ada dia.
“Mbak, beliin makanan dong di indomaret?”
suruh dia.
“Kamu nggak bawa makan siang?” tanyaku.
“Enggak” jawabnya datar.
Dia mengambil uang dari dalam dompernya dan memberikan
padaku. Aku tanpa berpikir dua kali, bergegas pergi ke indomaret. Membeli
minuman dan makanan pesannya. Sejatinya, aku peduli denganya karena dia
mahasiswa baru yang aku bimbing tanpa munafik ada sedikit rasa penasaran
menghantui kenapa dia diam, kenapa dia baru masuk tahun ini, kenapa dia tidak takut, kenapa tatapan matanya.
Pertanyaan kenapa lah yang kemudian membawa ku masuk ke dalam dunianya.
Media
Layaknya muda-mudi yang sedang melakukan pendekatan, kita
bertemu lagi meluangkan waktu diantara padatnya jadwal kita. Bercerita lebih
dekat, berupaya agar kita dekat. Aku menyukai sesorang yang mengenal duniaku.
Aku ceritakan semua kegiatanku, kesibukkan hari-hariku dan segalanya. Begitu
juga dengan kamu, yang terobsesi dengan dunia bisnis. Aku menghargainya. Tapi
apa yang aku tangkap tentangmu mengenai
duniaku, tak seperti aku menghargai duniamu.
“Aku nggak suka nonton tv. Beritanya
itu pasti udah di setting. Orang-orang media itu biasanya memberitakan yang
nggak bener? Ngapain sih kamu suka media?”
Aku bilang, aku menyukai menulis. Aku menyukai dunia
wartawan, aku suka berinteraksi dengan orang. Aku suka ketika aku mampu
menulisnya menjadi sebuah berita. Aku rasa ucapan ku itu hanya di dengar olehmu
dan di tolak mentah-mentah dalam otakmu. Potret yang tampak jelas yang aku
lihat dari raut wajahmu adalah kamu tak suka aku membicarakan sebuah rumah
belajarku sebagai anak media. Tak suka. Kamu tak suka mendengarnya. Sempat
berpikir, mungkin kamu juga tak menyukai seorang aktivis kampus? Lebih tepat
aktivis pers. Ketika hari-hariku kuhabiskan dalam ruang itu. Bagi ku tak
masalah, aku menghargai pendapatmu. Juga sebuah kalimat tanya yang selalu kamu
lontarkan
“Kamu nggak bosen ke DIANNS mulu?”
“Nggak” jawabku dalam hati
14 desember, kalau tidak salah sebuah malam minggu yang
melelahkan ketika dari terbit fajar hingga tengah malam. Sepertinya rumah itu
sudah mendarah daging sebelum aku mengenal kamu. Tapi aku juga ingin mengenggam
kamu. Waktu menunjukkan pukul 20:30 kami masih duduk serius, menunggu sebuah
kata penutup mengakhirinya. Dan ketika semua usai, aku bergegas kembali ke
rumah. Aku terlalu takut kehilangan sebuah momen kita, padahal rasanya tubuhku sudah
letih untuk beranjak. Kamu bertanya berkali-kali. Apa aku tak kelelahan, aku
menjawab tidak. Aku ingin mengenggam kedua-duanya. Tak peduli selelah apa
ragaku dan selarut apa malam itu. Dan entah apa yang merasuki ku, aku mabuk.
Iya, aku mabuk. Aku hanya ingin ada cerita sebuah malam minggu ada kamu. Tak
peduli esok pagi harus berangkat saat fajar tiba untuk membimbing calon-calon
pers mahasiswa lagi.
Pendengar Dan Seorang Yang Didengar
Menulis lagi,
pukul 23:35. Irama musik yang baru kukenal mengalun sejak satu jam
lalu. Hoodie membalut lekat tubuhku
yang mulai terserang dinginnya malam. Duduk mematung menatap layar bisu, hanya
mendengar irama. Mendengar? Aku teringat tentang malam itu. Dimana aku menjadi
pendengar yang baik tanpa tahu entah maksud apa yang dia bicarakan. Dan aku
tetap di posisi menjadi pendengar yang baik. Aku mendengar, mendengar, dan
mendengar lagi. Aku dengar, aku berharap aku beranjak dari posisi sebagai
pendengar. Tapi tidak, dia hanya butuh pendengar. Tidak lebih. Lalu ketika tak
ada yang dia bicarakan dia tak butuh pendengar. Pergi merayap sepi. Aku
menertawai diriku sendiri sebagai pendengar. Rasanya ingin aku berkata, aku
bukan pendengar cerita-ceritamu dimana tak ada aku dalam tiap kalimat yang
terlontar.
Tapi malam ini bukan
tentang itu, tentang seorang yang ku kagumi ketika aku membaca tulisannya.
Ketika aku mendengarnya berbicara lantang. Kagum atas ciptaan Tuhan, manusia.
Tak lebih tak kurang aku mengaguminya. Aku suka ketika aku bengong
menerkap-nerka setiap maksud ucapannya. Aku suka ketika dia memandang ku aneh,
ketika tingkah ku bodoh. Aku suka ketika dia mengeluarkan kata-kata mujarabnya.
Lantang! Aku belajar menjadi seseorang yang akan dilihatnya suatu hari nanti.
Melihatku mengeluarkan mantra dan kata-kata dari jemariku yang mengalun pelan
tapi pasti. Demi nadiku, aku pasti bisa.
Tentang kamu yang
bicara segalanya dan aku menjadi pendengar. Ketahuilah, aku bukan sepasang
telinga. Aku bergerak dan bernafas layaknya dirimu. Aku bukan perempuan itu,
bukan. Sepatu ku masih teguh ku pakai hingga detik ini, masih melekat di
jemariku. Melupakan sebuah kritik tajam yang tertancap, sebuah kalimat “Suka pake sepatu?” dengan nadamu yang
aneh. Dengan pertanyaan “Kenapa suka make
jaket gede banget sih?” dengan nadamu yang miris. Terhenyak, engkau siapa?
Masih ku ingat jelas kata-kata itu. Mungkin takkan pernah aku lupakan. Seharga
itukah pecitraan diriku, sepasang sepatu dan jaket kedodoran. Itu kita baru kenal.
Aku suka sesorang beropini, tapi tidak untuk orang baru di hidupku.
Ada kala aku jatuh
dalam sebuah kata kritikan, seperti “Ini
tulisan berita apa novel?”. Saat itu aku benar-benar jatuh, ku akui
kata-kata itu mampu membuatku terombang-ambing dalam hitungan minggu. Mencari
cela dimana harus aku benarkan. Aku menjadi
phobia dengan berita, tak ku sentuh berita itu. Aku tak menulis hanya
mewawancarai saja. Tapi itu tidak lagi, kritik itu adalah pil manis untuk ku
dikemudian hari bukan sekarang. Aku bangkit ketika ada kata yang terlontar
untukku, “kamu bisa nulis!”. Aku
memikirkan kalimat itu hingga fajar tiba, lalu kuambil lagi dayung dan akan ku
kayuh perahuku hingga batas terakhir.
Pendengar? Romannya aku
sudah bukan pendengarnya lagi. Karena dia perlahan memudar menyapu jejaknya.
Seperti tak pernah ada sesuatu antara kita. Aku tak mengerti lagi. Hingga aku
menulis ini di kalimat terakhir, tentang pendengar aku belum mengerti. Aku perangkai
kata tapi aku miskin mengerti makhluk Tuhan satu itu, adam.
Bangun, Sebab pagi terlalu berharga. Tuk kita
lewati. Dengan tertidur, lirik Banda Neira
mengalun pelan di telinganya.
Layaknya manusia normal
ketika dia bangun, ketika dia memandang dunia kala fajar mulai bersinar terang.
Membuka laptop dan melihat media sosial. Lalu Ranum, tersenyum ketus. Biasa,
pagi itu dia melihat media sosial, ingin tertawa tapi lebih baik sedih. Lucu,
seperti drama yang hendak ingin dimainkan. Ranum ingin mengeluarkan kata-kata
nanar sedih nan menyayat hati. Tapi, semua terdiam dan tak ingin keluar. Hingga
hanya keluar senyuman munafik dari bibirnya. Pagi itu belum ada secangkir kopi
hangat yang menemaninya. Tapi matanya sudah terlalu hangat untuk menatap dan
membaca media sosial. Temperatur cuaca tertulis tiga belas derajat celcius tapi
panas menghinggapi tubuh Ranum. Menjelajah di media sosial hingga habis sudah
apa yang membuatnya penasaran, ingin rasanya menertawakan dirinya sendiri.
Karena dia tak ingin menbuat dirinya terlihat menyedihkan. Tamparan dari sebuah
media sosial terkadang lebih menyakitkan, dunia maya oh dunia maya.
"Haruskah
aku buat secangkir kopi hangat? Jika
tubuhku sudah panas?" Ucap Ranum dalam hati.
Teringat tentang
tulisannya semalam, belum genap dua belas jam dia usai menulis. Tapi, tulisan
itu seakan sampah. Sampah yang tak layak dibaca dan begitu memalukan untuk
dibedah. Pendengar, ini tentang pendengar kawan. Sepertinya tak akan lagi ada
pendengar. Tak akan ada lagi, semua telah usai dengan sebuah pesan dari pagi.
Mentari masih terus
menyala terang, tapi tidak untuk mata Ranum. Hujan, menetes dari kedua kelopak
matanya. Kelabu membayang, menggenang, dan membasahi pagi itu. Haruskah
pergi ke antah berantah? Dan tak
terlihat lagi. Haruskan dia menghilang dibalik pesan pagi yang indah. Indah,
karena dua insan Tuhan sedang dimabuk asmara. Sungguh dia manusia egois jika
membenci dua makhluk Tuhan yang sedang terpanah asmara, menuai kata-kata cinta
diantara mereka.
"Tuhan
tidak menyukai makhluk egois" ucap Ranum Lirih
Lalu aku harus
bagaimana? Aku membuat sebuah pesan yang harusku jawab sebelum matahari
bersinar tegak. Maukah kau membantu ku menjawab? Aku bertanya untuk aku
berdiri. Aku bertanya untuk sebuah senyum yang harus mengembang di bibirku.
Kalimat ini ditutup oleh sebuah alunan yang berjudul Rindu dari Banda Neira.
Kita bertemu dengan kopi dan diakhiri dengan kopi
Terompet berbunyi, kita mematung. Mereka tertawa, kita
membisu. Membisu dengan dingin. Membisu karena tak ada lagi kata yang harus
terucap diantara kita. Aku diam dengan semua jawaban teka-teki yang telah kau
buat. Kamu diam dengan rahasiamu yang tak kau katakana. Kusentuh cangkir, tak
lagi panas. Kopi yang panas mulai menciut menjadi hangat, perlahan menjadi
dingin. Seperti kaum adam disampingku, dingin.
Haruskah aku memulai pembicaraan? Haruskah? Untuk tiga menit
pertanyaan itu melayang-layang di kepala ku. Akhirnya aku bersuara. Pertanyaan
datar dan kaku.
“Kenapa ngajak aku main?” tanya ku
“Kenapa? Daripada kamu galau terus”
sindir dia
Aku mencoba mencairkan suasana. Aku
tertawa.
“Apaan sih? Aku galau gara-gara
sering dengerin lagu anak-anak aja di sekret,” elakku
Seperti manusia yang baru berjumpa lagi setelah sekian lama
menghilang. Menghilang dalam jejaknya menyentuh tanah dan dapat meraba suhu
panas ditubuhnya. Hanya lewat media sosial aku melihatnya. Tak mampu menyentuh
tubuhnya. Sejatinya bukan esensi itu yang hilang, tapi sebuah cerita yang
hilang. Cerita tentangnya yang hilang. Sebuah kejujuran yang sengaja ditutupi.
Itu yang hilang dan aku tak mampu untuk bertanya, karena aku terlalu takut.
Malam itu bukan kopi pahit kawan, bukan mendailing yang asam rasanya. Tapi aku
sudah terlalu pahit untuk mendengarnya lagi. Salahkah kawan? Aku tak bertanya,
jika teka-teki sudah terpecahkan. Lalu, untuk apa dia datang? Untuk
menertawakan ku. Untuk melihat betapa menyedihkan diriku. Sungguh, aku tak
mampu. Aku hanya mendengar apa yang diceritakan, cukup. Aku tak akan bertanya
lagi. Aku memilih diam. Biarkan dia bercerita. Biarkan sudah. Hingga kita lelah
dan berhenti bersuara. Lampu malam itu terang tapi aku merasa gelap. Jalanan
itu bising tapi aku merasa senyap. Aku tak menatap matanya malam itu, karena
semuanya bias. Cukup aku mendengar saja, bicaralah dengan telingaku.
Rindu
Ketahuilah
rindu bukan sekedar alasan untuk bercumbu. Rindu bukan alasan untuk tenggelam
jauh dalam sebuah pelukkan, tapi rindu cukup untuk sebuah alasan adam dan hawa
mengenggam. Rindu makhluk ciptaan Tuhan dengan segala kepunyaan nya. Rindu itu
membuatnya semakin ada, semakin nyata. Bahkan terlalu nyata untuk digenggam.
Cinta
Cinta
tak sebatas kecupan belaka. Tak sebatas saling memeluk. Aku tak menghargai
cinta seperti itu. Untukku cinta adalah komitmen, komitmen itu cinta. Cinta ada
karena komitmen. Bukan alasan untuk nafsu. Cinta bukan alasan untuk meraba,
bukan. Ada yang bilang cinta itu suci. Iya, cinta itu suci. Putih. Tak perlu
menggoreskan warna lain.Tak perlu mencampurkan rasa lain. Bukan perspektif
agama, sekali lagi bukan. Tapi tentang harga dari sebuah cinta, tentang harga
dari sebuah diri. Tentang harga diri yang berharga.
Aku
bukan perempuan pendiam, bukan perempuan gemulai. Aku perempuan yang keras. Aku
perempuan yang liar. Aku perempuan yang bebas. Aku bebas bergerak, bermain, dan
berekspresi. Tapi kamu salah menilai tentang aku. Aku bebas bukan berarti aku
nakal. Kamu tahu? Aku tak suka kaum adam yang menyentuhku. Sekali lagi bukan
pespekstif agama. Ilmu ku tak sehebat ilmumu. Tapi apa yang ku pegang adalah
harga mati untukku. Maka wajar jika
dimata ku, dirimu kembali ke titik nol.
Aku
bebas bukan berarti aku menganggap sebuah hubungan itu bebas. Aku bebas
mengenal siapapun kaum adam, tapi bukan untuk terlalu dekat. Karena ada jarak
yang harus terpisah.
Ketahuilah rangga, dalam sebuah diri citra seseorang ada
temu yang harus kau pahami dan ada sebuah prinsip yang harus kau hargai. Jika
apa yang ku ucapkan benar, telanlah tapi jika tidak anggap saja sebuah goresan
tinta tanpa makna.
Rangga
Jika
kelabu tak datang, mungkin aku masih terdiam menanti jawaban. Namun, aku tak
melakukanya. Karena engkau sudah memberiku jawaban dalam sebuah teka-teki yang
harus ku pecahkan.
Ingatkah
pada jalanan yang pernah aku ceritakan, mungkin kita akan bertemu di kala
sakura gugur berterbangan atau kita bertemu dalam sebuah berita bahagia tanpa
ada kita.
Senyum
manis dari Osaka, Ranum.
Surat ini ku tulis, menjawab perjumpaan terakhir kita atas
pertanyaanmu. Apa yang akan lakukan nanti ketika aku lulus kuliah. Ingin
menjadi apa aku dan apa yang aku berikan untuk orang tua ku. Kapan kamu akan
memikirkan lawan jenis? Ketahuilah, aku disini menulis surat ini dikelilingi
sakura-sakura yang bertebangan. Indah bukan? Tak mampu aku melukiskannya dalam
sebuah kata. Aku disini, menikmati trotoar dikala musim gugur berguguran dan
musim semi dimana sakura bermekaran. Bagaimana kamu dan tentang kopi mu? Adakah
kabar bahagia yang ingin kau ceritakan padaku. Aku menunggu sebuah cerita
darimu. Sebuah kejujuran yang ingin ku dengar dari bibirmu walau sudah berlalu
tahun demi tahun.
Kalau kau ingin mendengarkan, sesungguhya aku ingin
bercerita tak hanya dalam sepenggal bait yang kau baca. Aku masih setia
menantinya. Dia bukan kamu. Trotoar itu sudah tertutup salju tebal, terompet
kembali berbunyi lagi di tahun kedua. Tapi aku masih disini. Menanti seseorang
yang pernah aku ceritakan tentang ini. Dengarlah rangga, ketika hatiku
berkecamuk kau datang membawa warna mengalihkan ku tentang dia. Tapi ternyata
itu hanya sesaat belaka. Aku tidak sakit karena dirimu tapi hanya ingin
mendengar tentang cerita sebenarnya tentang angin dan udara. Aku melewatkan
sebuah bagian tentang dia, iya aku sengaja melewatkannya. Bukan dalam cerita
ini aku menceritakan. Tahun ketiga ku disini mungkin aku mampu untuk menulis
cerita tentangnya.
Terdengar derap langkah seseorang
menaiki tangga yang terbuat dari kayu. Lalu, suara tangan seseorang mengetuk
pintu. Seorang pria memakai baju hangat dan kacamata menempel di matanya
berdiri di depan pintu. Membawa sebuah topi yang berbentuk kerucut dan terompet
berwarna emas. Ketika perempuan itu membuka pintu, senyum simpulnya mengembang.
Happy new year, I’m here!
Tahun ketiga di Osaka, Jepang.
keren deb... osaka yah? pengetikannya deb. ada yang ilang ada yg kebalik menurut gw kata3nya. so far so good...
ReplyDeletehahah iya Osaka, masih kayak dulu ko. Jepang, evrything about japan hehehe
Deleteiya ini harus perlu banyak editing, makasih ya komentarnya
pengen deh nulis tentang psikologi gitu pendekatannya :)))