Wednesday, August 8, 2018

Kenang, 1989

Di sebuah corolla biru tua, aku bersandar
Udara laut timur berhembus mengalun bersama angin kering
Aku menatap matamu, lalu ku tatap birunya laut yang membentang
Kita di usia dua puluh tahun
Dan aku menyandarkan bahuku di pundakmu

Kita masih diusia dua puluh tahun kala itu
Kini kutemui laut masih membentang biru, angin masih berhembus semilir
Udara laut timur masih terus terasa

Namun, kita diusia tiga puluh tahun sekarang
Surat kabar harian rakjat tak lagi mengabarkan kabar huru-hara
Militer tak lagi berkuasa, beruntungnya kau
Karena aku ingat, gondrong dilarang kala itu

Wiji Thukul telah berubah menjadi sajak rangga
Tergiang kalimat memanggil cinta
Seperti cinta yang diam-diam mengikuti rangga
Bernostalgia pada buku-buku tua di toko buku

Begitupun denganku
Jari-jari kaki ku merasakan pasir kering yang menutupi sela-sela jari
Bernostalgia dengan tapak-tapak yang masih meninggalkan jejak
Aku ingat puisi Sapardi yang kau tuliskan pada buku harianmu
Yang fana adalah waktu. Kita Abadi;
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
Dan kau abadi dalam memori yang terekam dan terkenang



(Catatan Deby, Jakarta, 8 Agustus 2018)

No comments:

Post a Comment