Monita Tahalea - 168
Suaranya mengalun merdu, ku amati lirik demi liriknya. Sepenggal liriknya mengingatkan ku pada 85 hari yang lalu, ketika aku menjadi seorang gadis yang kebingungan. Tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Aku memutuskan untuk membeli tiket perjalanan menuju kota yang selalu ku rindukan, mengontak kawan lama semasa kuliah untuk membantu ku pergi ke sebuah tempat. Dari kawanku, aku memperoleh sebuah kontak tour guide sebut saja pengembara yang dapat menemaniku menuju tempat yang ku tuju. Memastikan kepada kawanku tentang siapa pengembara, dengan penuh pertimbangan tentang aman dan selamat di perjalanan. Karena ini bukan tentang perjalanan study tour, perjalanan sendiri yang membuat kepala pengembara itu pun geleng - geleng bukan kepalang.
Semua rencana yang hendak diatur, berjalan sangat cepat, tengah malam menyusuri jalanan kota Jakarta aku menuju bandara Soekarno Hatta, keesokan paginya aku sudah berada di Kota Surabaya dan melanjutkan perjalanan menuju kota Malang. Untuk pertama kalinya aku menaiki damri dari Bandara menuju Terminal Bungurasih. Walaupun aku melanjutkan studi kuliah di Malang, Jawa Timur. Namun, aku bukan seoarang mahasiswa yang memiliki dana di kantong untuk pulang setiap satu semester sekali dengan pesawat.
Setiba di terminal kota Malang, aku bertemu pertama kali dengan pengembara yang akan memaduku, tepat di sebuah SPBU di samping terminal arjosari. Transaksi bayar membayar berlangsung cepat. Tak cukup waktu lama untuk membicarakan persiapan. Aku hanya berterus terang tentang kondisiku bahwa ini pertama kalinya aku tracking malam dan hiking ke gunung yang hendak aku tuju. Dan masih teringat dibenakku, pertama kali aku melihat seorang laki-laki, ku tebak usianya lebih muda dengan jaket seringai yang dia kenakan. Melihat jaket yang dia kenakan, aku sedikit dapat mengenali seperti apa dia, terutama dari musik yang dia suka. Seorang anak yang tak kurang lebih sama denganku sebagai penyuka aliran musik keras. Tidak ada yang perlu ditakuti, rasa yang muncul ketika pertama kali bertemu.
Lalu, kami berpisah untuk masing-masing menyiapkan tenaga karena petang akan berangkat menuju lokasi. Aku pun bergegas menuju sebuah kosan seorang adik tingkat ku semasa kuliah, menyiapkan barang yang hendak ku dibawa. Betapa beruntungnya aku, teruntuk adik-adik yang selalu aku sayangi membantuku untuk menyiapkan barang yang aku butuhkan.
Petang menjelang, sekitar pukul lima sore aku berangkat menuju terminal arjosari. Kita berjanji di tempat awal bertemu. Tak banyak bercengkrama, layaknya seorang pemadu, dia menuntun agar bergegas menaiki bis karena hari itu merupakan penghujung tahun, bisa saja kita berdesak-desakan berdiri di dalam bis.
Lalu, aku menikmati perjalanan pertamaku menembus gelapnya malam dengan nafas yang terpingkal-pingkal, udara dingin yang menusuk pori - pori, juga hening yang mengajarkan tentang ketenangan. Dan kudapati setiap pemandangan yang membuatku terkesima dan perjalanan yang membuatku bersyukur, karena setiap langkah yang kulewati, aku mampu.
Sekarang, 3 april 2018, aku masih bersyukur kepada Allah SWT karena menghantarkan dan melapangkan perjalanan ku. Dan tetap menggengamku dengan sebuah perjalanan yang teramat berisiko yang pernah ku ambil.
Teringat ku akan beberapa hari lalu, sebuah obrolan dengan teman kamar ku, seorang umat Tuhan yang tak berhenti berdoa dan membuat ku kerdil di hadapan Allah SWT. Ketika kita mengobrol, aku memutuskan untuk pergi kembali, mendamaikan semua pikiran dan rasa. Aku mengatakan padanya,
"Aku selalu bersyukur untuk setiap jalan yang ku ambil, begitu aku memaknainya"
Lalu, kita terlelap setelah tertawa mengingat setiap cerita yang aku ceritakan.
Jakarta, 5 April 2018
No comments:
Post a Comment