Wednesday, August 15, 2018

Kali dan Jingga


Kala Kali pulang
Mengemas buku-bukunya, dimasukkan ke dalam ransel hitam
Malam itu Kali, tengah duduk sendiri, menyeruput kopi hitam
Tak mahal, Kali cukup merogoh kocek lima ribu rupiah
Ditengah asap-asap rokok yang membumbung tinggi
Bernostalgia dengan suara gelak tawa warung kopi yang saban hari Kali kunjungi
Mengenang senyuman perempuan manis berkulit coklat
Tatapan mata datar, rambut bergelombak yang menjuntai sebahu, dan aura dinginnya

2012
Suhu selalu senang bertengger diantara 13 derajat hingga 15 derajat
Jingga, membalut tubuhnya dengan parka coklat
Menyusuri sudut-sudut kota kecil dengan kaki mungilnya
Tak mengenal seorang pun
Merekam setiap imaji baru yang ia tangkap dengan lensa tuanya
Membebaskan diri dalam obrolan-obrolan warung kopi
Menemukan rumah baru, tak pernah damai namun hangat

Kali, mengamati perempuan itu
Mendengar setiap obrolan perempuan itu dengan pemilik warung kopi
Suara yang tak asing
Gerak - gerik yang sama dengan Kali
Sikap acuh dan dingin yang tak asing bagi Kali

"Hai, Kali" ucapnya
Dengan menyodorkan tangannya.


(Catatan Deby, Jakarta, 15 Agustus 2018)

Wednesday, August 8, 2018

Kenang, 1989

Di sebuah corolla biru tua, aku bersandar
Udara laut timur berhembus mengalun bersama angin kering
Aku menatap matamu, lalu ku tatap birunya laut yang membentang
Kita di usia dua puluh tahun
Dan aku menyandarkan bahuku di pundakmu

Kita masih diusia dua puluh tahun kala itu
Kini kutemui laut masih membentang biru, angin masih berhembus semilir
Udara laut timur masih terus terasa

Namun, kita diusia tiga puluh tahun sekarang
Surat kabar harian rakjat tak lagi mengabarkan kabar huru-hara
Militer tak lagi berkuasa, beruntungnya kau
Karena aku ingat, gondrong dilarang kala itu

Wiji Thukul telah berubah menjadi sajak rangga
Tergiang kalimat memanggil cinta
Seperti cinta yang diam-diam mengikuti rangga
Bernostalgia pada buku-buku tua di toko buku

Begitupun denganku
Jari-jari kaki ku merasakan pasir kering yang menutupi sela-sela jari
Bernostalgia dengan tapak-tapak yang masih meninggalkan jejak
Aku ingat puisi Sapardi yang kau tuliskan pada buku harianmu
Yang fana adalah waktu. Kita Abadi;
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
Dan kau abadi dalam memori yang terekam dan terkenang



(Catatan Deby, Jakarta, 8 Agustus 2018)

Thursday, April 5, 2018

Menulis Karena Terusik Sebuah Lagu


Monita Tahalea - 168

1 April 2018, maret sudah berganti. Di suatu sore, menuju petang, aku membuka suatu aplikasi musik online di handphone ku. Mencari sebuah lagu untuk mencairkan suasana selepas bekerja seharian dan suasana hati. Ku temukan sebuah lagu dari penyanyi muda, salah satu mantan jebolan audisi kontes musik di salah satu televisi swasta nasional.

Suaranya mengalun merdu, ku amati lirik demi liriknya. Sepenggal liriknya mengingatkan ku pada 85 hari yang lalu, ketika aku menjadi seorang gadis yang kebingungan. Tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Aku memutuskan untuk membeli tiket perjalanan menuju kota yang selalu ku rindukan, mengontak kawan lama semasa kuliah untuk membantu ku pergi ke sebuah tempat. Dari kawanku, aku memperoleh sebuah kontak tour guide sebut saja pengembara yang dapat menemaniku menuju tempat yang ku tuju. Memastikan kepada kawanku tentang siapa pengembara, dengan penuh pertimbangan tentang aman dan selamat di perjalanan. Karena ini bukan tentang perjalanan study tour, perjalanan sendiri yang membuat kepala pengembara itu pun geleng - geleng bukan kepalang.

Semua rencana yang hendak diatur, berjalan sangat cepat, tengah malam menyusuri jalanan kota Jakarta aku menuju bandara Soekarno Hatta, keesokan paginya aku sudah berada di Kota Surabaya dan melanjutkan perjalanan menuju kota Malang. Untuk pertama kalinya aku menaiki damri dari Bandara menuju Terminal Bungurasih. Walaupun aku melanjutkan studi kuliah di Malang, Jawa Timur. Namun, aku bukan seoarang mahasiswa yang memiliki dana di kantong untuk pulang setiap satu semester sekali dengan pesawat. 

Setiba di terminal kota Malang, aku bertemu pertama kali dengan pengembara yang akan memaduku, tepat di sebuah SPBU di samping terminal arjosari. Transaksi bayar membayar berlangsung cepat. Tak cukup waktu lama untuk membicarakan persiapan. Aku hanya berterus terang tentang kondisiku bahwa ini pertama kalinya aku tracking malam dan hiking ke gunung yang hendak aku tuju. Dan masih teringat dibenakku, pertama kali aku melihat seorang laki-laki, ku tebak usianya lebih muda dengan jaket seringai yang dia kenakan. Melihat jaket yang dia kenakan, aku sedikit dapat mengenali seperti apa dia, terutama dari musik yang dia suka. Seorang anak yang tak kurang lebih sama denganku sebagai penyuka aliran musik keras. Tidak ada yang perlu ditakuti, rasa yang muncul ketika pertama kali bertemu. 

Lalu, kami berpisah untuk masing-masing menyiapkan tenaga karena petang akan berangkat menuju lokasi. Aku pun bergegas menuju sebuah kosan seorang adik tingkat ku semasa kuliah, menyiapkan barang yang hendak ku dibawa. Betapa beruntungnya aku, teruntuk adik-adik yang selalu aku sayangi membantuku untuk menyiapkan barang yang aku butuhkan. 

Petang menjelang, sekitar pukul lima sore aku berangkat menuju terminal arjosari. Kita berjanji di tempat awal bertemu. Tak banyak bercengkrama, layaknya seorang pemadu, dia menuntun agar bergegas menaiki bis karena hari itu merupakan penghujung tahun, bisa saja kita berdesak-desakan berdiri di dalam bis.

Lalu, aku menikmati perjalanan pertamaku menembus gelapnya malam dengan nafas yang terpingkal-pingkal, udara dingin yang menusuk pori - pori, juga hening yang mengajarkan tentang ketenangan. Dan kudapati setiap pemandangan yang membuatku terkesima dan perjalanan yang membuatku bersyukur, karena setiap langkah yang kulewati, aku mampu.

Sekarang, 3 april 2018, aku masih bersyukur kepada Allah SWT karena menghantarkan dan melapangkan perjalanan ku. Dan tetap menggengamku dengan sebuah perjalanan yang teramat berisiko yang pernah ku ambil.

Teringat ku akan beberapa hari lalu, sebuah obrolan dengan teman kamar ku, seorang umat Tuhan yang tak berhenti berdoa dan membuat ku kerdil di hadapan Allah SWT. Ketika kita mengobrol, aku memutuskan untuk pergi kembali, mendamaikan semua pikiran dan rasa. Aku mengatakan padanya,

"Aku selalu bersyukur untuk setiap jalan yang ku ambil, begitu aku memaknainya"

Lalu, kita terlelap setelah tertawa mengingat setiap cerita yang aku ceritakan. 



Jakarta, 5 April 2018

Monday, February 19, 2018

Asanka ; Ide, Gagasan

Foto diambil 2013 silam, Dampit, Malang


Kerangka #1

Kaki-kaki kecil menyusuri jalan setapak yang terbentang di perbukitan Dampit
Sebuah daerah yang terletak di Malang Selatan
Kaki-kaki kecil itu mengikuti langkah lelaki tua yang berjalan di depannya
Berselempang sarung dan kupluk
Langkah kakinya kuat menampak tanah yang masih basah terkena guyuran hujan
Tak lupa sebilah belati diselipkan dipinggangnya
Kenar dan Kirna dengan sigap, mendengarkan Bapak bercerita tentang ladang-ladang
Yang dulunya pada jaman Pak Harto merupakan ladang tebu yang membentang di sepanjang perbukitan
Namun kini, kopi, jagung, dan palawija bertengger dengan kokohnya
Hari itu merupakan hari minggu, Kenar dan Kirna  tidak berjalan sejauh lima kilometer menuruni bukit untuk pergi ke Sekolah Menengah Pertama Inpres
Mereka pergi berladang mengikuti Bapak untuk melihat kopi yang hendak dipanen
Kenar dan Kirna merupakan harapan Bapak, seperti arti namanya
Dalam istilah Kawi (Jawa Kuno), Kenar  merupakan sinar rembulan dan Kirna memiliki arti menjadi cahaya bagi sekitarnya.

“Terbesit doa dari Bapak, seorang imam sebuah  musholla yang tak kurang luasnya berukuran dari 3 x 4 dengan mic dan tape radio tua yang menjadi penghias. Mic mengelurkan suara adzan yang terdengar sayup-sayup memecah kesunyian pedesaan dan para warga yang bergelut dibalik sarung karena tergerus dingin”

Monday, January 15, 2018

Biru




Membentang
Biru
Memandang
Biru
Pulanglah biru sebelum kembali pada lalu
Melintas di sabana biru
Terseok - seok, meranggas, mengembang, mengempis
Biru kembali ke biru, menyegani Sang Hyang Widhi




Jakarta, 15 Januari 2017