Rasanya aku sudah lama tidak lama menulis. Oh iya, pasti sudah lama sekali. Aku merasakan jari jemariku kaku karena sudah lama tidak menarik tinta di kertas putih ini. Tapi apa yang harus aku tulis? Hanya ada sepenggal kisah yang aku dengar dari mulut-mulut yang menganga. Tentang cinta tiga dara. Tiga dara diterpa badai asmara pada bujang yang baru saja datang dari kota. Dengan logat batavianya, bujang itu menyapa. Tiga dara tak pandai bercakap-cakap, mereka tersihir panah asmara. Yati, Tini, dan Nuri setiap pagi mereka membungkus ikan pindang dengan daun jati, sebelum matahari terbit bergegaslah mereka pergi ke Pasar Anopati. Tepian hutan jati mereka susuri, sesekali mereka mendengar suara anjing hutan yang masih mengaung memecah kesunyian hutan. Mereka jalan beriringan, Yati memegang “teplok”, Tini dan Nuri membawa pindang yang sudah terbungkus daun jati.
Pasar Anopati terletak di seberang hutan, butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di pasar. Sesampai mereka dipasar, mereka bergegas menempati lapak jualan mereka. Letaknya cukup strategis, berada ditengah-tengah pasar. Lapak itu merupakan peninggalan dari Bapak sebelum meninggal. Masih terasa segar di ingatan mereka, tentang bapak yang sedang duduk di “dingklik” sembari menawarkan daganganya dan aroma minyak kayu putih yang biasa bapak gunakan. Kini berganti mereka yang harus melakukannya untuk menyambung hidup. Setelah selesai berjualan, mereka bergegas kembali ke desa. Senangnya bukan kepalang karena mereka akan bertemu dengan bujang tampan yang baru dari kota. Dengan menyemprotkan minyak bunga kenanga, mereka bergegas menuju ke Sekolah Rakyat. Yati, Tini, dan Nuri tahu mereka akan menjadi murid dari bujang tampan itu. Beberapa hari yang lalu, Pak Siam, Kepala Sekolah Rakyat, mengabarkan kalau akan datang guru baru untuk mengajar. Fotonya pun sudah terpampang di dinding kelas. Betapa sumrigahnya Yati, Tini, dan Nuri, tak pernah mereka melihat bujang setampan itu.
Yati, Tini, dan Nuri duduk di teras sekolah. Mereka memang selalu bertiga, usia mereka pun tak jauh berbeda. Yati lebih tua dua tahun dari Tini sedangkan Tini dan Nuri hanya berbeda satu tahun.
Seorang laki-laki muda memakai celana putih dan kemeja putih datang menghampiri. Yati berbisik kepada Tini.
“Itu bujang tampan” bisik Yati
Tini pernah mendengar bahwa laki-laki itu lulusan Hollandsche Indische Kweekschool. Hebat bukan. Mereka akan memiliki guru baru hebat dan tampan. Setidaknya sebelum mereka pergi meninggalkan desa untuk mengadu nasib. Ada yang mereka kenang dari sekolah ini, karena mereka bukan lagi anak-anak sekolah dasar. Mereka remaja yang terkurung dalam keterbatasan sehingga mereka masih mengeyam pendidikan sekolah dasar.
“Kenapa kalian tidak masuk?” ucap bujang tampan
Mereka hanya diam dan saling bertatap, lalu berlari kecil masuk ke dalam kelas. Bujang tampan mengikuti mereka masuk ke dalam kelas. Anak-anak di dalam kelas sudah duduk menanti, bisa dihitung dengan jari tangan, tidak lebih dari sepuluh siswa. Tidak ada seragam yang menghiasi mereka, hanya pakaian lusuh yang mereka gunakan. Yati, Tini, dan Nuri memandang tak berkedip, lekat-lekat dilihatnya bujang tampan itu, itulah awal mula cerita cinta tiga dara. Bukan cinta layaknya sepasang kekasih dimabuk asmara, namun cinta akan sesuatu yang membuat mereka terpesona pada sosok yang baru mereka lihat.
*Teplok : Lampu Berbahan Bakar Minyak Tanah
*Dingklik : Bangku Kecil
Penulis Debby Lian, Kediri 5 Oktober 2016
Pasar Anopati terletak di seberang hutan, butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di pasar. Sesampai mereka dipasar, mereka bergegas menempati lapak jualan mereka. Letaknya cukup strategis, berada ditengah-tengah pasar. Lapak itu merupakan peninggalan dari Bapak sebelum meninggal. Masih terasa segar di ingatan mereka, tentang bapak yang sedang duduk di “dingklik” sembari menawarkan daganganya dan aroma minyak kayu putih yang biasa bapak gunakan. Kini berganti mereka yang harus melakukannya untuk menyambung hidup. Setelah selesai berjualan, mereka bergegas kembali ke desa. Senangnya bukan kepalang karena mereka akan bertemu dengan bujang tampan yang baru dari kota. Dengan menyemprotkan minyak bunga kenanga, mereka bergegas menuju ke Sekolah Rakyat. Yati, Tini, dan Nuri tahu mereka akan menjadi murid dari bujang tampan itu. Beberapa hari yang lalu, Pak Siam, Kepala Sekolah Rakyat, mengabarkan kalau akan datang guru baru untuk mengajar. Fotonya pun sudah terpampang di dinding kelas. Betapa sumrigahnya Yati, Tini, dan Nuri, tak pernah mereka melihat bujang setampan itu.
Yati, Tini, dan Nuri duduk di teras sekolah. Mereka memang selalu bertiga, usia mereka pun tak jauh berbeda. Yati lebih tua dua tahun dari Tini sedangkan Tini dan Nuri hanya berbeda satu tahun.
Seorang laki-laki muda memakai celana putih dan kemeja putih datang menghampiri. Yati berbisik kepada Tini.
“Itu bujang tampan” bisik Yati
Tini pernah mendengar bahwa laki-laki itu lulusan Hollandsche Indische Kweekschool. Hebat bukan. Mereka akan memiliki guru baru hebat dan tampan. Setidaknya sebelum mereka pergi meninggalkan desa untuk mengadu nasib. Ada yang mereka kenang dari sekolah ini, karena mereka bukan lagi anak-anak sekolah dasar. Mereka remaja yang terkurung dalam keterbatasan sehingga mereka masih mengeyam pendidikan sekolah dasar.
“Kenapa kalian tidak masuk?” ucap bujang tampan
Mereka hanya diam dan saling bertatap, lalu berlari kecil masuk ke dalam kelas. Bujang tampan mengikuti mereka masuk ke dalam kelas. Anak-anak di dalam kelas sudah duduk menanti, bisa dihitung dengan jari tangan, tidak lebih dari sepuluh siswa. Tidak ada seragam yang menghiasi mereka, hanya pakaian lusuh yang mereka gunakan. Yati, Tini, dan Nuri memandang tak berkedip, lekat-lekat dilihatnya bujang tampan itu, itulah awal mula cerita cinta tiga dara. Bukan cinta layaknya sepasang kekasih dimabuk asmara, namun cinta akan sesuatu yang membuat mereka terpesona pada sosok yang baru mereka lihat.
*Teplok : Lampu Berbahan Bakar Minyak Tanah
*Dingklik : Bangku Kecil
Penulis Debby Lian, Kediri 5 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment