Saturday, March 15, 2014

Berlayar


Tanganku tenggelam dalam sebuah jaket hitam tebal. Tak terlihat. Ditemani sebuah buku bertuliskan kalimat jurnalistik. Hening menyergap. Suara radio mengudara. Menerawang ke langit-langit. Bias, sejauh mana aku mampu melangkah? Sejauh mana aku berlari. Kaki ku belum ingin berhenti. Lalu, apa yang akan menghentikan ku kelak.

Mengatakan sudah cukup untuk ku dan mengulurkan tanganya  untuk mengajak berbalik arah. Tapi itu nanti bukan sekarang. Karena aku sekarang berlayar menerjang ombak ke arah samudra hindia. Luas dan belum terlihat daratan sejauh mata memandang. Ombak menerjang dan pasang surut pasti akan datang seperti hukum alam sudah meramal.

Lalu, awak harus memutar otak untuk bertahan. Selamat hingga ke tepian. Mungkin seperti Colombus ketika berlayar menyebrangi Samudra Atlatik hingga sampai di benua Amerika. Pernahkah berpikir untuk menyudahi semua? pernah. Memutuskan ikatan-ikatan elektron sehingga tak mampu lagi melanjutkan.

Tapi secepat inikah? Aku rasa Einstein tak akan menyerah pada kegagalan tahun pertama atau kedua. Semudah mengikat tali sepatu, mengencangkannya lalu berlari menuju kapal. Berlayar hingga menemukan tepian. Tak gentar menerjang ombak.

(Sebuah Catatan di Soekarno Hatta Malang, 15 Maret 2014)

Monday, March 3, 2014

Satu Kali Dua Belas Jam

Satu kali dua belas jam
Mendidih dalam satu kali dua belas jam
Mencampurkan otak-otak manusia
Mendengar setiap kata yang terucap

Satu kali dua belas jam
Menggetuk palu berkali-kali
Menegaskan hingga urat nadi
Muncul ke permukaan epidermis

Satu kali dua belas jam
Teruntuk satu kali dua belas jam
Syahdu dan membuat bulu roma
Bergidik getar
Tapi terlambat dan malu untuk sebuah prestie
Mundur dalam satu kali dua belas jam

Satu kali dua belas jam
Membuat lidah bersulut api
Mata memincing
Dan alis yang mengernyit
Untuk tatapan yang sadis
Untuk ucapan yang menggiris

Satu kali dua belas jam
Untuk suara yang berani
Menyebrang dari haluan
Melawan dari titik peraduan

Untuk satu kali dua belas jam
Teruntuk rasa takut
Pedih dan layaknya manusia melankolis
Semua melebur menjadi Satu

Sepenggal kutipan dalam
Satu kali dua belas jam
If not now, when?

(Catatan di Soekarno Hatta, Malang, 2 Maret 2014)

Sunday, March 2, 2014

Lantangkan Suaramu Maka Kami Dengar

Bukan perkara mudah untuk membuat
Seonggok daging bergerak
Bukan perkara mudah juga membuat
Tulang-tulang itu memanas
Hingga rasa panas berbalik kepada
Kita, tulang lunak

Yang baru tumbuh dari sekat-sekat ototnya
Dididik olehnya tapi kita terlalu dini berkembang
Bak anak harimau
Buas dan menerkam

Kita ingin dengar suara lantangnya
Kita ingin lihat dia mengenggam kita
Bukan menjauh bahkan membenci
Tapi sekali lagi manusia
Memang manusiawi, perasa dan merasa

(Catatan di LPM DIANNS, 2 Maret 2014)

Saturday, March 1, 2014

Haluan

Aku tidak suka politik
Seperti yang terucap oleh kawan Soe Hoek Gie dalam filmnya
Politik tai kucing
Tapi aku belajar politik
Dalam ruang sempit ini pun
Ada politik praktis meskipun kabur
Apa dikaburkan?
Aku tidak menyukai persaingan
Tapi hidup hanya memberi dua pilihan
Menang atau kalah
Aku bahkan tidak menyukai kekuasaan
Tapi sugesti menyatakan tidak
Belajar politik membuatku tahu
Membuatku paham tapi tidak untuk bergerak
Hingga tadi pagi aku menonton sebuah film masa orde lama
Hingga sebuah ucapan yang cukup menggiris telingga
Sampai kapan akan menulis yang itu-itu saja?
Bukankah ilmumu sudah cukup?
Bukankah tanganmu sudah kuat?
Pertanyaan itu menyergap
Jawabku diam

(Catatan di LPM DIANNS, 1 Maret 2014)