Saturday, February 15, 2014

Aku Malu Pada Kamera Abu-Abu

Aku malu pada kamera yang berlumur debu
Aku malu pada mata yang manatap tajam
Aku malu pada langkah yang bergerak pelan
Aku malu pada wajah kusamnya

Aku malu pada jari-jari yang menggetik
Aku malu pada kamera yang merekam
Aku malu pada mereka yang mencengkram
Erat kameranya

Duduk disini membuatku lebih malu
Diam disini membuatku terlihat
Bukan siapa-siapa

Malu pada detik yang terus berputar
Aku ingin abu itu melekat pada penaku
Aku ingin langkahku menginjak abu itu

Tapi aku hanya diam disini
Menunggu mereka membawa sebuah kabar
Menunggu mereka membawa sebuah narasi
Menunggu mereka membawa sebuah potret
Hitam putih abu-abu

Aku malu pada kamera yang tergantung diujung
Jalanan abu-abu
Aku malu pada mereka yang berwarna abu-abu
Bergerak dan merekam

(catatan di LPM DIANNS, Malang, 15 Februari 2014)

Maya

Berkabar dalam sebuah gemuruh tanya
Menebak dalam sebuah media sosial
Mungkin location media sosial
Memalaskan untuk sekedar bertanya kabar
Untuk sekedar menyapa

Bukan tentang ingin disapa tapi tentang siapa?
Bukan tentang ingin ditanya tapi sebatas tanda tanya
Lalu? Menguntit menjadi sebuah rutinitas
Wajar jika generasi kita, generasi penguntit
Lawakkan yang terdengar memaksa

Perlukah setiap hari untuk melihat recent update?
Hingga kita melihatnya
Perlukah setiap hari bergelut dengan media sosial
Hingga menemukannya

Lalu membaca dari sebuah pertanyaan “What’s happening?”
Cukup itu dan setiap hari begitu
Lalu kapan bertanya? Nothing
Sekedar untuk menjadi viewernya

Ini bukan puisi romantis tapi ini sebuah kenyataan dramatis
Bertatap dalam maya hingga semua menjadi maya
Tenggelam dalam sebuah momen maya

Perlukan dicari bahkan mencari?
Search engine mungkin tak menemukannya
Bukan menemukan dimana dia berada?
Tapi menemukan berada dimana dia

Hati siapa yang mengenggamnya
Hati siapa yang mengikatnya
Ini kisah tentang maya
Hingga terakhir bait yang kau baca mungkin maya

Wednesday, February 12, 2014

[Mozaik Blog Competition 2014] Ungkapan Tinta Seorang Penulis

Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id


Ungkapan tinta seorang penulis dalam sepenggal cerita.

Menjadi penulis bukan cita-cita pertama yang terlintas di dalam benakku. Ingin menjadi penulis merupakan sebuah cita-cita yang mengalir secara perlahan. Berawal dai sebuah coretan seorang remaja berusia dua belas tahun dalam buku-buku bekas catatan ketika di sekolah dasar. Kenapa menggunakan buku-buku bekas? Dulu aku memilah buku-buku yang masih memiliki sisa halaman kosong untuk aku isi. Kutaruh kembali buku-buku itu dalam jajaran buku yang masih terpakai di lemari belajar. Aku bukan tipe perempuan yang suka menulis dalam sebuah buku diary bersampul lucu berwarna-warni.  Tetapi aku lebih menyukai lembar-lembar kertas putih yang tak terpakai. Memulai menulis dari curahan hati sehari-hari  hingga menulis cerita fiksi layaknya remaja.  Cerita fiksi pertama ku tulis dalam sebuah buku tulis kecil dengan tebal 58 halaman. Menulis cerita mulai dari halaman tengah hingga halaman belakang yang tak terpakai. Kalau tidak salah buku itu merupakan buku bekas matematika. Karena aku tak begitu suka mencatat matematika jadi aku menggunakan buku itu. Cerita pertamaku bisa disebut sebuah novel. Aku menulisnya ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas delapan berjudul antara hidup dan mati. Aku tak tahu dimana sekarang buku itu berada entah hilang atau masih di gudang rumah. Cerita tersebut terinsipirasi dari sebuah cerita catatan metropolitan. Usiaku sekitar 13 tahun tapi aku menulis tentang kehidupan pergaulan remaja, konflik persahabatan, dan cinta. Awalnya cerpen atau novel yang aku tulis hanya menjadi koleksi pribadi. Lalu aku memperlihatkan kepada teman dekatku. Salah satu teman ku bahkan jika  bertemu denganku pasti bertanya “Debb, ada cerita baru lagi nggak?”. Hingga kemudian muncul cerita-ceritaku selanjutnya yang lebih ke arah fiksi romance.

Aku ingat pernah membaca sebuah novel di perpustakaan sekolah. Dalam novel tersebut bercerita tentang seorang perempuan yang ingin menjadi penulis. Orang mengenal tulisan perempuan itu dari mulut ke mulut teman sekolahnya. Dari novel tersebut aku mengikuti langkah tokoh perempuan itu. Aku membiarkan teman-temanku membaca cerpen atau novelku berharap mereka meberikan tanggapan terhadap tulisannku. Semenjak itu aku mulai dikenal suka menulis. Juga dalam pelajaran Indonesia ketika SMP yang berbau dengan naskah drama, membuat cerita pendek, dan menulis puisi aku lahap sampai habis. Bahkan lucunya, jika ada tugas menulis puisi temanku pasti mencariku.  Memintaku untuk membuatkannya sebuah puisi. Menginjak SMA kesukaanku menulis mengantarkan ku memilih mengikuti  organisasi majalah sekolah. Dua cerpen sudah karyaku dimuat dalam majalah sekolah. Ketika SMA aku bisa mengatakan itu puncak pengakuan terhadap passion diriku terhadap menulis khusunya fiksi. Dua kali sebagai pemenang lomba menulis cerpen ketika bulan bahasa dan puncaknya mengatas namakan sekolah ketika mengikuti lomba menulis tiga bahasa tingkat provinsi walaupun aku kalah. Kekalahan membuatku semakin ingin terus melangkah lagi dan lagi.

Majalah Sekolah SMAN I Kab. Tangerang

Dalam melakukan sesuatu biasanya kita mempunyai tokoh yang mengisnpirasi kita? Sama halnya denganku. Dalam menulis aku mempunyai seorang tokoh yang aku idolakan sejak aku melahap habis tulisannya tujuh tahun lalu. Dalam sebuah novel best seller aku mengagumi tulisannya. Alur dan latar ceritanya yang membuatku tak habis memuji tulisannya, Andrea Hirata. Aku mengenal Andrea Hirata ketika aku tahu sebuah film layar lebar yang berjudul laskar pelangi. Membaca tulisan Andrea Hirata pada bukunya yang pertama kali aku punya yaitu sang pemimpi. Lucu ya seharusnya laskar pelangi dulu yang aku baca tapi aku malah membaca sang pemimpi. Hingga aku menghabiskan tentralogi laskar pelangi dalam beberapa hari mengunci diri di kamar hanya untuk membaca. Aku suka gaya bahasa, latar, alur, dan kekuatan dari ceritanya tentang Belitong. Tulisanku ketika menginjak SMA kental dipengaruhi oleh Andrea Hirata, ketika menulis cerpen untuk majalah sekolah aku mengangkat cerita tentang seorang anak miskin di sebuah dusun terpencil, pendidikan setengah tiang, dan tentang perjuangan mimpi anak daerah. Dari mulai membaca karyanya aku berani menjadi seorang pemimpi. Dan juga sepenggal ucapan dari ibuku yang masih aku ingat sampai sekarang. Dia pernah berkata “Sekali-kali cerpennya dikirim ke majalah gitu”. Sederhana ucapannya tapi dari situ aku tahu dia mendukungku dan diam-diam suka membaca buku-buku coretan cerpenku yang sering berserakan di kamar bahkan ruang tamu.

Maryamah Karpov, Andrea Hirata

Kenapa menjadi penulis? Menulis bukan hanya tentang menulis cerita fiksi. Memilih jalan menulis membuatku terlibat sebagai pers mahasiswa atau yang sering disebut dengan Persma. Di dalam sebuah organisasi yang bernama lembaga pers mahasiswa (LPM) aku belajar lebih dalam tentang dunia menulis. Hingga aku merasakan menulis berita dimana berita yang aku tulis mendapat hak jawab. Bagaimana berbicara tentang cerita fiksi, menulis berita, dan opini dengan orang-orang yang lebih ahli dariku. Dan tentu saja semuanya tentang menulis.  Membaca karya-karya teman dari masing-masing blog pribadinya dan tulisannya baik di Majalah maupun buletin kampus. Berlomba menulis cerita sesama teman se-LPM dan bagaimana berlomba dengan deadline tulisan harus selesai. Semuanya menjadi guru yang berharga bahkan teman editor yang mau untuk mengoreksi tulisanku. Mulai mengenal karya-karya sastrawan lama seperti Pramoedya Ananta Toer dan lainnya.

Catatan Pulau Buru

dan

Buku Sajak Hasan Aspahani

Sebelumnya, dipenghujung tahun sekolah menengah atas aku membuat blog pribadi. Berawal dari kesukaan dari blogwalking akhirnya aku membuat blog pribadiku. Mulanya aku menulis opini tentang anak muda, lifestyle, hingga sastra dan event aku menulisnya di blog. Mengikuti lomba menulis di blog baik cerpen, review, maupun feature. Hal ini melatihku agar tetap konsisten menulis meskipun terkadang sebuah kritikan terlontar untuk sebuah tulisan yang aku posting di blog.  Menulis blog menjadi sangat bermanfaat ketika era digitalisasi seperti sekarang. Dengan memposting cerpen dan segala jenis tulisan di blog setiap orang dapat dengan mudah membaca bahkan memberi tanggapan tentang tulisan kita. 

Menjadi penulis itu tidak mudah, ketika harus mampu menjaga konsistensi dalam menulis dan meluangkan waktu untuk menulis. Jika aku ditanya kenapa memilih menulis? Aku akan menjawab aku suka merangkai kata dan membuat sebuah alur cerita yang indah. Menulis menjadi diriku, orang mengenalku karena tulisanku seperti pepatah lama yang mengatakan bahwa tulisan akan selalu dikenang. Dan aku terharu ketika menulis sebuah tulisan yang bertuliskan “Penulis DebbyLian”.  Bukan tentang royalti tapi tentang bagaimana tanggapan seseorang ketika membaca tulisan kita. Saat dulu di majalah sekolah, sebelum majalah dibagikan kepada seluruh siswa. Aku pasti merasa degdegan jika terdapat cerpenku yang dimuat di majalah. Perasaan tentang bagaimana tanggapan pembaca? Apakah ceritaku menarik atau tidak untuk mereka baca. Sampai sekarang perasaan seperti itu masih menjadi ciri khasku.  Hingga mendapat julukan penulis hebat dari teman dan celetukkan seorang teman “Kapan loe nerbitin novel?”. Semua aku rasakan indah dan haru. Hingga suatu titik dimana aku beranjak dewasa dengan lingkungan yang lebih luas. Mengenal orang-orang yang lebih mahir menulis daripada aku. Belajar untuk berkompetisi dalam menulis. Belajar untuk mendapat pengakuan dalam sebuah lingkungan dimana terdapat penulis-penulis hebat. Belajar untuk tulisan diterima dan dibaca. Karena bagi seorang penulis royalti terbesar adalah ketika tulisan kita dibaca. Belajar dari titik nol ketika aku berkaca membaca kembali cerpen yang pernah aku buat ternyata penulisan EYDnya banyak yang salah. Jujur, aku bukan penulis yang memiliki tingkat kepintaran tentang penulisan EYD ataupun redaksional yang baik. Tapi untuk sebuah alur, latar, konsep, cerita, aku berani mengatakan aku bisa.  Lalu ketika berada di lingkungan yang penuh dengan penulis hebat muncullah sebuah pertanyaan bagaimana agar tulisanmu bisa bertahan? Bagaimana mempertahankan identitasmu sebagai penulis. Itu adalah sebuah pertanyaan besar untukku sekarang.  

Dan ketika awal tahun 2014 sebuah cerpenku gagal menembus penerbit. Hal itu membuatku semakin giat untuk menulis dan belajar menulis lebih dari sebelumnya. More and more than yesterday! Karena tak ada kata berhenti untuk mencapai sebuah mimpi. Seperti sebuah kutipan dalam novel sang pemimpi yang mengatakan bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Aku akan terus mewujudkan mimpiku sebagai penulis, merekam jejakku dalam sebuah tulisan.