Riyuh kembang api berlalu, sekarang tertulis hari pertama di
tahun baru. Dimulai dengan kita berjalan mengitari Shibuya. Dengan kita yang
sekarang bercengkrama lebih dekat. Berapa tahun lamanya sudah sejak perjumpaan
kita terakhir. Aku tersenyum dengan senyum layaknya kita baru kenal. Aku
tersenyum layaknya kita baru bertemu. Layaknya pasangan remaja baru memulai
asmara. Padahal kita berjumpa setelah lama tenggelam dalam rutinitas tanpa
pernah bertemu. Shibuya selalu ramai dan tak pernah sepi. Seperti senyumku hari
ini tak pernah surut untuk tersenyum. Aku bermimpi duduk manis dalam sebuah café
mini di sudut jalan. Aku bisa melihat sudut-sudut kota dari balik jendela café.
Dan sekarang aku seperti itu bersamamu dan secangkir kopi hangat.
Café itu menyudut seperti segitiga. Teringat aku tentang
sebuah cerita segitiga dalam sebuah ruang. Aku menceritakan padanya tentang
sebuah segitiga dalam ruang. Cerita manis dan getir. Dia diam dan aku
bercerita, sesekali dia menyeruput kopinya.
“Peka? Aku peka dalam sebuah kebisuan tak berani bersua.
Menyadari yang tak sempat ku sadari untuk beberapa waktu yang lama. Merasa
bersalah untuk waktu yang tak mampu diulang. Maaf untuk sebuah kata yang belum
aku lontarkan. Maaf untuk sebuah kepekaan kosong yang tak mampu aku tebak. Maaf”
January, 1999
Dia masih menatap ku lekat, melihat bibir ku berucap.
“Kenapa segitga mempunyai tiga sudut sama, tiga sisi sama,
dua sudut sama besar, dua sudut siku-siku jika dibelah menjadi dua, sebuah
sudut yang terbentuk lancip dari dua sudut dibawahnya. Ada yang bilang segitiga
itu istimewa, ya bangun yang sangat istimewa hingga muncul phytagoras begitu
juga tentang dia. Segitiga yang memunculkan rasa untuk kaum hawa. Hingga
membentuk segitiga.”
“Tahukah kau, dulu aku bertemu dengan lelaki segitiga itu?”
“Benarkah?” Tanya dia
Aku mengangguk
“Ayo ceritakan padaku?” Suruhnya
“Saat itu sama seperti ini, tahun baru. Tak ada yang memulai
sebuah kabar burung kuterima. Bukan desas-desus belaka. Lalu, aku mencoba
kembali menerka-nerka teka-teki. Aku memang kurang peka, aku sadari itu. Aku
percaya dengan kabar burung itu. Aku menyadarinya saat itu juga. Ternyata
seperti itu. Setelah mendengarnya hanya satu yang terlintas dipikiran ku."
“Tahukan kau?” Aku bertanya
Dia menggelengkan kepalanya
“Segitiga, sebuah segitiga” ucapku
Dia menggeryitkan dahinya
“Aku keluar dari segitiga itu saat itu juga, menjadi
penonton. Menulis cerita yang mengalir indah tanpa aku sadari. Aku ingin
menjadi penonton dikesunyian ku sendiri. Menulis cerita segitiga tanpa ada aku.
Karena aku tak mau dalam sebuah segitiga. Terlalu indah jika terperangkap dalam
sebuah segitiga. Terlalu istimewa kah makhluk itu hingga harus bertahan dalam
sebuah segitiga? Aku memaknainya lain. Bukan seperti itu.”
“Lalu, apa yang kamu lakukan?” tanya dia
“Menulisnya, detik itu juga. I’m crazy people? Of course”
Dia terkekeh
“Lalu segitiganya?” ucapnya bingung
Shibuya mulai hujan salju perlahan demi perlahan
“Mungkin nanti bersambung tentang segitiga” celetukku
Lampu jalan mulai menyala, dia tersenyum merayu agar aku
bercerita lagi. Aku membalas tersenyum misterius.
(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan LPM DIANNS, Malang, 13 Januari 2014)
No comments:
Post a Comment