Wednesday, January 15, 2014

Mata

(Sumber)

Akhir-akhir ini aku melihat sepasang mata baik adam maupun hawa. Ingin aku bercerita tentang sepasang mata yang aku lihat. Sebentar, bukankah terkesan ambigu jika aku menulis sepasang mata? Akan membuat pembaca mengartikan aku melihat sepasang mata milik seseorang. Dan ini bukan sepasang mata  milik seseorang saja, lebih.

Pertama, tentang mata yang sayu aku lihat semalam. Matanya coklat dengan sedikit merah pada skleranya. Orang mungkin mencium aroma beer yang keluar dari aroma nafasnya tapi tidak untuk hidungku. Aku buta aroma beer. Dengan memulai menghisap sebatang rokok, dia memulai pembicaraan.
“Gue jatuh”
Ucapan yang pertama terlontar dari bibirnya. Suara musik memenuhi ruangan itu. Aku mulai mencium aroma asap rokoknya. Tanganya memegang botol yang setengah menggantung dengan posisi di atas lantai. Aku mengamatinya.
“Kenapa?” tanyaku
“Gue jatuh, gue sakit” ucapnya
Lalu dia meminum lagi dan lagi. Hingga matanya merah. Mata merah pertama yang aku lihat.

Kedua, mata yang memancarkan rasa suka. Dalam tatapannya, hingga membuat bulu romaku berdiri. Aku melihat dan merekam saat itu. Mata itu selalu diiringi oleh sebuah senyuman dan suara manis yang terdengar. Jika aku bisa menghentikan kala itu, ingin aku potret tatapan mata dan senyuman itu. Menyimpanya dalam sebuah album hitam putih. Membukanya kembali ketika aku tak bisa tersenyum seperti itu? Bolehkah aku meminjam matamu, dalam hati berbisik lirih. Aku simpan dalam sebuah album bersampul coklat.

Ketiga, mata sesorang yang berbicara tentang gagasannya dengan lantang dan berapi-api. Tentang sebuah gagasan yang ingin dia buat. Tentang sebuah cita dan ambisi. Aku melihat mata itu. Kita beradu pandang. Aku lihat matanya memandang ke depan, revolusioner. Matanya tidak dingin, sejuk dalam semua tumpukan cita dan ambisinya.

Keempat, mata seorang penulis kusebut bukan penulis cinta. Karena aku tidak pernah membaca cerita cintanya. Dan tak pula tentang apakah dia pernah jatuh cinta. Sesekali aku ingin bertanya.
“Pernahkah kau jatuh hati?”
Tapi aku tak melihat raut wajahnya tentang cinta jika kita berbicara tentang ketertarikan terhadap kaum adam. Mata yang dingin untuk seorang kaum hawa.

Monday, January 13, 2014

Catatan Adit : Scream of Little Heart

Ini bukan tentang puisi cinta. Tapi ini tentang sebuah lagu yang tercipta diantara dia dan tentang hatinya. Mencoba merangkai syair yang tertinggal dalam sepasang mata hawa. Hingga dia mengambil selembar kertas dari catatan kuliah. Do you know what he's wrote?

First, I saw you
In my imagine you're Angel
First I talk with you
I saw your eyes so well

I saw your smile
My hear verry happy
I saw your fall
I feel I'm die

Don't leave me
I cann't live without you
Don't go everywhere
Because I love you

With this song
I can tell all
My story in my heart
I can scream that I love you

His heart's say :
Just feel down every saw her
My heart was crying
But Icann't do everything
I just consious
That who am I?
I'm nothing for her
You know, I f I saw her
I feel comfort and feel
My problem was gone
I did talk to her
That I love her very much
And she said love me too
But I think her
Love just a little to me
I feel my love is not reply
I write this isn't from mind
But from my little heart's
I'm strong in physicly but no in my heart

Sama, kita terjebak dalam sebuah rasa tanpa ada kita. Lalu, waktulah yang akan menentukan kapan ketika dia beranjak pergi. Tanpa sepatah kata kenang. "He was gone" ucap hati seorang penulis.

(Sebuah catatan dari Indomaret Point, Malang, 13 Januari 2014, 22 : 13 PM)

Segitiga dan Shibuya


Riyuh kembang api berlalu, sekarang tertulis hari pertama di tahun baru. Dimulai dengan kita berjalan mengitari Shibuya. Dengan kita yang sekarang bercengkrama lebih dekat. Berapa tahun lamanya sudah sejak perjumpaan kita terakhir. Aku tersenyum dengan senyum layaknya kita baru kenal. Aku tersenyum layaknya kita baru bertemu. Layaknya pasangan remaja baru memulai asmara. Padahal kita berjumpa setelah lama tenggelam dalam rutinitas tanpa pernah bertemu. Shibuya selalu ramai dan tak pernah sepi. Seperti senyumku hari ini tak pernah surut untuk tersenyum. Aku bermimpi duduk manis dalam sebuah café mini di sudut jalan. Aku bisa melihat sudut-sudut kota dari balik jendela café. Dan sekarang aku seperti itu bersamamu dan secangkir kopi hangat.

Café itu menyudut seperti segitiga. Teringat aku tentang sebuah cerita segitiga dalam sebuah ruang. Aku menceritakan padanya tentang sebuah segitiga dalam ruang. Cerita manis dan getir. Dia diam dan aku bercerita, sesekali dia menyeruput kopinya.

“Peka? Aku peka dalam sebuah kebisuan tak berani bersua. Menyadari yang tak sempat ku sadari untuk beberapa waktu yang lama. Merasa bersalah untuk waktu yang tak mampu diulang. Maaf untuk sebuah kata yang belum aku lontarkan. Maaf untuk sebuah kepekaan kosong yang tak mampu aku tebak. Maaf” 
January, 1999

Dia masih menatap ku lekat, melihat bibir ku berucap.

“Kenapa segitga mempunyai tiga sudut sama, tiga sisi sama, dua sudut sama besar, dua sudut siku-siku jika dibelah menjadi dua, sebuah sudut yang terbentuk lancip dari dua sudut dibawahnya. Ada yang bilang segitiga itu istimewa, ya bangun yang sangat istimewa hingga muncul phytagoras begitu juga tentang dia. Segitiga yang memunculkan rasa untuk kaum hawa. Hingga membentuk segitiga.”

“Tahukah kau, dulu aku bertemu dengan lelaki segitiga itu?”
“Benarkah?” Tanya dia
Aku mengangguk
“Ayo ceritakan padaku?” Suruhnya

“Saat itu sama seperti ini, tahun baru. Tak ada yang memulai sebuah kabar burung kuterima. Bukan desas-desus belaka. Lalu, aku mencoba kembali menerka-nerka teka-teki. Aku memang kurang peka, aku sadari itu. Aku percaya dengan kabar burung itu. Aku menyadarinya saat itu juga. Ternyata seperti itu. Setelah mendengarnya hanya satu yang terlintas dipikiran ku."

“Tahukan kau?” Aku bertanya
Dia menggelengkan kepalanya
“Segitiga, sebuah segitiga” ucapku
Dia menggeryitkan dahinya

“Aku keluar dari segitiga itu saat itu juga, menjadi penonton. Menulis cerita yang mengalir indah tanpa aku sadari. Aku ingin menjadi penonton dikesunyian ku sendiri. Menulis cerita segitiga tanpa ada aku. Karena aku tak mau dalam sebuah segitiga. Terlalu indah jika terperangkap dalam sebuah segitiga. Terlalu istimewa kah makhluk itu hingga harus bertahan dalam sebuah segitiga? Aku memaknainya lain. Bukan seperti itu.”

“Lalu, apa yang kamu lakukan?” tanya dia
“Menulisnya, detik itu juga. I’m crazy people? Of course
Dia terkekeh
“Lalu segitiganya?” ucapnya bingung
Shibuya mulai hujan salju perlahan demi perlahan
“Mungkin nanti bersambung tentang segitiga” celetukku
Lampu jalan mulai menyala, dia tersenyum merayu agar aku bercerita lagi. Aku membalas tersenyum misterius.


(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan LPM DIANNS, Malang, 13 Januari 2014)

Segitiga

Sebuah puisi untuk penghantar semanis aroma kopi kemarin selanjutnya.

Pecah, semua terkuak
Dalam beberapa detik bukan jam atom
Cukup jam digital

Lalu?
Berterima kasih untuk cinta
Untuk tokoh tanpa pernah
Ada penokohan
Untuk diam yang menggetirkan
Untuk diam yang menakutkan

Lalu?
Penaku ingin menulis kembali
Menulis semuanya dalam
Sebuh fiksi roman cinta melayu

Lalu?
Ku tulis
Kata penghantar untukku meminta
Dalam bisuku, suara penaku
Untukku menggores penaku


(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan LPM DIANNS, Malang, 13 Januari 2014)