Menulis lagi, pukul
23 : 35. Irama musik yang baru
kukenal mengalun sejak satu jam lalu. Hoodie membalut lekat tubuhku yang mulai
terserang dinginnya malam. Duduk mematung menatap layar bisu, hanya mendengar
irama. Mendengar? Aku teringat tentang malam itu. Dimana aku menjadi pendengar
yang baik tanpa tahu entah maksud apa yang dia bicarakan. Dan aku tetap di
posisi menjadi pendengar yang baik. Aku mendengar, mendengar, dan mendengar
lagi. Aku dengar, aku berharap aku beranjak dari posisi sebagai pendengar. Tapi
tidak, dia hanya butuh pendengar. Tidak lebih. Lalu ketika tak ada yang dia
bicarakan dia tak butuh pendengar. Pergi merayap sepi. Aku menertawai diriku
sendiri sebagai pendengar. Rasanya ingin aku berkata, aku bukan pendengar
cerita-ceritamu dimana tak ada aku dalam tiap kalimat yang terlontar.
Tapi malam ini bukan tentang itu, tentang seorang yang ku
kagumi ketika aku membaca tulisannya. Ketika aku mendengarnya berbicara lantang.
Kagum atas ciptaan Tuhan, manusia. Tak lebih tak kurang aku mengaguminya. Aku
suka ketika aku bengong menerkap-nerka setiap maksud ucapannya. Aku suka ketika
dia memandang ku aneh, ketika tingkah ku bodoh. Aku suka ketika dia mengeluarkan
kata-kata mujarabnya. Lantang! Aku belajar menjadi seseorang yang akan
dilihatnya suatu hari nanti. Melihatku mengeluarkan mantra dan kata-kata dari
jemariku yang mengalun pelan tapi pasti. Demi nadiku, aku pasti bisa.
Tentang kamu yang bicara segalanya dan aku menjadi
pendengar. Ketahuilah, aku bukan sepasang telinga. Aku bergerak dan bernafas
layaknya dirimu. Aku bukan perempuan itu, bukan. Sepatu ku masih teguh ku pakai
hingga detik ini, masih melekat di jemariku. Melupakan sebuah kritik tajam yang
tertancap, sebuah kalimat “Suka pake sepatu?” dengan nadamu yang aneh. Dengan
pertanyaan “Kenapa suka make jaket gede banget sih?” dengan nadamu yang miris.
Terhenyak, engkau siapa? Masih ku ingat jelas kata-kata itu. Mungkin takkan
pernah aku lupakan. Seharga itukah pecitraan diriku, sepasang sepatu dan jaket
kedodoran. Itu kita baru kenal. Aku suka
sesorang beropini, tapi tidak untuk orang baru di hidupku.
Ada kala aku jatuh dalam sebuah kata kritikan, seperti “Ini
tulisan berita apa novel?”. Saat itu aku benar-benar jatuh, ku akui kata-kata
itu mampu membuatku terombang-ambing dalam hitungan minggu. Mencari cela dimana
harus aku benarkan. Aku menjadi phobia dengan berita, tak ku sentuh berita itu.
Aku tak menulis hanya mewawancarai saja. Tapi itu tidak lagi, kritik itu adalah
pil manis untuk ku dikemudian hari bukan sekarang. Aku bangkit ketika ada kata
yang terlontar untukku, “kamu bisa nulis!”. Aku memikirkan kalimat itu hingga
fajar tiba, lalu kuambil lagi dayung dan akan ku kayuh perahuku hingga batas
terakhir.
Pendengar? Romannya aku sudah bukan pendengarnya lagi.
Karena dia perlahan memudar menyapu jejaknya. Seperti tak pernah ada sesuatu
antara kita. Aku tak mengerti lagi. Hingga aku menulis ini di kalimat terakhir,
tentang pendengar aku belum mengerti. Aku perangkai kata tapi aku miskin
mengerti makhluk Tuhan satu itu, adam.
(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 27 Desember 2013)
(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 27 Desember 2013)
No comments:
Post a Comment