Detik lalu kembali ke sedia kala, ketika sebuah emoticon senyum yang menurut terang bukan merupakan senyum. Lalu terdiam dalam nada yang belum mampu keluar dari rongga mulut. Belum, hingga semuanya nanti memuncar dalam satu rasa. Entah amarah atau tangisan yang muncul.
Dua mata itu beradu dalam sedetik, lalu mereka kembali
melihat ke secangkir kopi yang menunggu manis dengan aroma khasnya. Masih
hening, memulai topik ringan agar suasana pecah. Tapi itu hanya kamuflase
belaka. Sekat semakin jauh, karena bayangannya yang ingin menjauh. Gelap
mengatakan kalau dia akan pergi, tapi terang tetap berusaha menyakinkan dirinya
bahwa dia tidak akan pergi.
Tapi semua tersandar ketika emoticon senyum terbaca tidak
ikhlas dari bibir simpulnya. Lalu terang mencoba menerka waktu yang akan tiba.
Sebuah lagu lama mengalun pelan, liriknya berbicara. Cinta tersurat kadang
lebih menyakitkan daripada cinta tersirat. Terkadang yang tersirat jauh lebih manis
dari yang tersurat. Tersurat dalam sebenarnya rasa itu cuma khayalan belaka
bahkan seharusnya dia tidak ada. Tapi karna suatu alasan yang tidak pernah
terang tahu, gelap itu memuncarkkan rasanya yang tersurat. Lalu semua jatuh
dalam gelap dan gelap lagi. Pernah tertawa tapi semua hanya sesaat belaka.
Monochrome. Hanya hitam dan putih. Lalu semua sirna karena gelap sebenarnya tak
pernah mencintai terang.
Waktu tak dapat dapat kembali. Menghentikan waktu dan
menghapus jejak. Hanya Tuhan yang bisa tapi terang bukan tuhan. Lagi-lagi
karena sebuah senyum simpul itu, dia tersadar . Terang masih bodoh. Masih jauh
lebih bodoh dari gelap.
Hingga malam itu, kopi itu tak lagi sama rasanya dengan hari
kemarin.
(Sebuah bait dari semanis aroma kopi kemarin, catatan Soekarno Hatta, Malang, 10 November 2013)