Friday, October 18, 2013

02 : 00


Aku terbangun tepat pukul dua pagi, buyar sudah semua mimpiku. Remuk sudah keping-keping yang telah ku rangkai sedemikian rupa. Secantik yang aku bayangan. Tapi tepat pukul dua pagi semua remuk. Terbawa angin malam nan syahdu. Menghempaskan tubuh ke kasur kecil, menerawang langit-langit kamar. Jarum jam tepat menunjuk ke angka dua. Layar monitor masih menyala terang. Secangkir kopi masih tersisa di atas meja. Aku bangun, menatap layar monitor. Mengamati aktivitas di media sosial. Menggetik sebuah nama lalu membaca halaman profilnya. Menggelikan, memalukan. Aku menguntitnya diam-diam dari sebuah akun media sosial. Seperti  jarak yang sangat jauh membatasi kita. Seperti kita di belahan bumi yang berbeda. Seperti kita tak bertemu sekian lama. Tapi benar kita tak pernah bertemu sekian lama sejak hari itu. Aku lupa tepatnya kapan, kita berpisah dalam senyum simpul yang mengembang. Lalu kau pergi dalam jalan yang telah kau buat, begitu juga ceritamu. Dimana tak ada aku sebagai pemeran utama. Begitu juga dengan ku yang masih kekeh menulis dirimu dalam ceritaku. Padahal tak ada cerita manis antara kita. Tapi aku mengkunci rapat ceritaku dengan namamu dan ketika pukul dua pagi ini, aku terbangun mengingatnya kembali. Tujuh jam sebelum aku membedah ceritaku di depan khalayak umum. Haruskah aku tersenyum simpul seperti saat itu ? Akankah kau mencariku setelah kau membaca tiap lembar ceritaku. Aku tetap di sudut cafĂ© itu, tak kurang tak lebih masih dengan kebisuanku.



-Seharusnya penggalan paragraf ini aku tulis lima tahun lagi. Tapi tanganku meminta untuk menulisnya. Dari kisah di ujung timur.

Sunday, October 13, 2013

Lukaku, Senjataku


Aku lupa jalan ku kemana ketika aku jatuh dalam buain kaum adam. Sesekali lupa.
Lalu ingat ketika dia menamparku bangun dari buainnya. Sakitku teramat dalam.
Hingga sesekali buta jalan. Lalu aku kembali ke titik nol aku beranjak.

Kupegang kedua pipi dengan tanganku. Dingin, beku menghinggapi.
Jadilah hati ku batu. Aku berbisik.
Akan ku buat kau menyesal lebih dalam dari penyeselannku.
Untuk satu kisah, aku membuktikkan.
Dimana aku memulai langkahku jauh dari tempat mu berada sekarang.

Tapi lagi-lagi aku menampar diriku sendiri. Layaknya kaum hawa, lagi aku merasa sakit.
Apakah aku pendendam ? aku men-dendam-kan sesuatu menjadi sebuah dorongan.
Agar aku setingkat lebih tinggi darinya. Salahkah ?
Aku hidup dan bertahan karena aku tak mau dibawah manusia yang menyakitiku.
Karena lukaku, senjataku.

Untuk kamu yang membuat luka, terima kasih.

Saturday, October 12, 2013

Gadis Berjaket Tebal


Mungkin terlalu dini untuk menulisnya. Tetapi aku ingin menulisnya. Cerita tentang gadis dibalik jaket tebalnya. Gadis itu biasa, tak cantik. Tak anggun. Gadis itu duduk disudut ruangan. Mengamati sekitarnya. Lalu gadis itu bertanya dalam hatinya. Embun tak lagi sama seperti dulu. Semua telah berbeda. Semua berubah. Tanpa perlu tangan untuk menulis episode-episode baru. Dia tertinggal. Jauh tertinggal. Dia menyadari tak seharusnya dia bersandar. 

Tetapi gadis itu tetap bersandar. Tak goyang. Tak ingin pergi.Semakin hari gadis itu  sadar, dia harus keluar. Dia harus menjauh. Menjauh dari sandaran itu. Lalu dia bingung, bagaimana caranya ? Perih bukan lagi berbekas goresan tapi tertancap tajam dalam rasa. Gadis itu masih diam, dia berdiri dimana tempatnya berada. Tak beranjak. Hingga dia lelah. 

Dia menulis sesukannya. Dia menghilangkan rasanya. 
Lalu gadis itu mati dalam tumpukan sajaknya. Sajaknya tak indah. Sajaknya tak mengandung mantra-mantra ajaib. Tak juga mengandung kata-kata indah. Dia tak sepintar itu, tapi dia tetap menulis. Semuanya dia tulis. Entah air matanya berlinang dia tetap menulisnya. Entah ceritanya tak berakhir bahagia dia tetap menulisnya. Gadis itu mencoba bertahan. 

Dia takkan pernah mundur dari tempatnya. Dia tetap menyudut di ruangan. Lalu semuanya pergi meninggalkannya. Terucap perpisahan. Gadis itu menjerit, dia menangis kencang. Hingga suaranya tak terdengar. Hingga lantunanya hilang. Membekas air mata belinang di pipinya. Dia muak hendak bercerita ke siapa. Dia sakit. Sakitnya tertusuk jiwa. 

Lalu sebuah kata perpisahan terucap. Selamat tinggal untukmu embun, pemeran utama ceritaku.

Aku Jatuh Cinta Pada Tulisannya

Aku mengenal sebuah tulisan yang baru beberapa menit ku baca.
Indah, aku jatuh cinta pada pandangan pertama tulisannya.
Lalu aku juga mengenal sebuah tulisan lagi.
Sekali lagi indah.
Mata ku beradu antara ingin melanjutkan membaca atau berhenti.
Kenapa berhenti ? karna aku takut menangis.
Kenapa aku takut menangis ? otak ku sudah menjadi wartawan untuk hati ku sendiri.
Kenapa ? lalu menjawab memunafikkan fakta dan lalu aku harus membuat mimik seperti tak terjadi apa-apa.
Lalu aku berhenti tak melihatnya lagi, ku baca secepat mungkin.
Aku menutupnya .
Aku penulis munafik yang tak bisa menerima kenyataan tak sama dengan tulisan ku.
Bodoh, jika suatu hari bertemu mungkin kita bisa sekedar mengobrol tentang tulisanmu.
Nanti dalam ruang yang berbeda.

Untuk Kita, Empat !

Kepada Dewata aku berharap
Jarak bukan tolak ukur untuk kita
Kepada tangan yang tergenggam
Aku berharap tak lepas
Kepada kita yang mengenggam
Ku eratkan tanganku untuk kalian
Sahabat

Selamat ulang tahun untuk kita yang keempat. Terucap rindu kepada labuhan bahu tempatku bersandar disana. Kalian terbaik ! Tahun keempat, empat tahun sudah kita bersahabat. Empat tahun sudah kita melewati hari terbahagia dan tersedih. Tapi kita tetap berjalan bergandengan. Ketika jarak pun memisahkan kalian tetap menjadi manis dalam tawa ku walaupun dalam sebuah layar hitam. Empat tahun bukan waktu yang singkat dan aku berharap persahabatan kita tidak sesingkat empat tahun tapi hingga kita tua bersama. Berlebihan mungkin ? tapi itu doa teruntuk kita.

Sebingkai potret kita
We Are Forever Young !





 Setelah kelulusan, kita pasti foto memakai toga bersama-sama :)


 Special for us, 4th D'SOULMATE !
Happy Bornday, keep long distance frienship, love you guys :)
Thanks for Crew DIANNS



Wednesday, October 9, 2013

Retina Bisu

Kelam tak lagi lembayung
Kelam menjadi gelap
Mensugesti diri tenggelam
Dalam kelam

Memunafikkan fakta
Jika ada titik terang
Beralibi dalam sekat
Tanpa ruang

Retina pun tak dapat berucap
Tapi bias memantul tepat
Tak ada konsonan vocal
Atau huruf mati untuk sekedar
Merangkai kata

Tapi tatapannya lekat
Terlalu lekat
Hingga sebuah skenario sandiwara
Harus dibuat

Dalam balutan kata bisu bohong belaka
Menerjang hari dalam cengkraman mata
Lalu semua tenggelam dalam bisunya kata

Retina
Bisu dalam kata tapi penuh makna
Hingga tuan berpikir untuk menikmati gelap
Dalam retinanya
Lekat gelap

Biar retina ku gelap
Hingga retinaku tak mengenal dia
Hingga retinaku tak lagi memandangnya
Hingga retinaku tak lagi mengamatinya
Munafiklah retinaku
Tetaplah bisu dalam kelam

LPM DIANNS, Malang, 9 Oktober 2013

Tuesday, October 1, 2013

J A R A K

Untuk jiwa yang terpenjara jarak. Lepaskanlah !

Jarak itu kejam
Ketika kita jenuh
Untuk sekedar bertanya, kapan pulang ?
Ketika kita jenuh
Untuk sekedar  menatap layar bisu
Ketika kita jenuh
Untuk bertanya tanpa melihat
Ketika kita jenuh
Untuk berangan tanpa menggengam
Ketika kita jenuh
Bertanya kabar tanpa saling bertatap
Jarak
Jarak yang mulai memudarkan rasa
Meskipun kita mencoba mengikatnya dalam
Frekuensi tanpa batas
Jarak yang mulai menjauhkan kita
Dalam jalan yang sudah berbeda
Jarak menepis anggan kita
Ketika kita mampu mengkhayal
Bergenggam tangan dalam khayal
Dan jarak tak pernah mengembalikkan
Waktu yang terbuang hingga
Tak ada aku dalam ceritamu

Soekarno Hatta, Malang, 1 Oktober 2013